sedekah jual beli hutang riba

[Kamisimak #3] Sedekah, Jual Beli, Hutang, dan Riba


Bismillaah…

QS. Al-Baqarah 275-280

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Hubungan dan interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam hal harta dan kepemilikan mencakup empat (4) hal: via sedekah, melalui jual beli, dengan hutang, serta dalam cengkeraman riba dan segala jenis turunannya. Sedekah dengan harta yang halal dan jual beli dengan cara yang baik sangat dianjurkan. Bahkan bisa menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi yang sangat timpang dan tidak merata seperti saat ini. Hutang sebaiknya dihindari karena pada dasarnya hutang adalah penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Sedangkan riba WAJIB ditinggalkan karena tidak ada satupun kebaikan di dalam riba.

Riba – Always Always Always Bad

Mengapa riba itu dilarang? Karena memang sama sekali tidak ada kebaikan di dalamnya. Dengan riba, uang bisa menghasilkan uang TANPA berproses memproduksi sesuatu atau menciptakan lapangan pekerjaan. Melalui riba, nilai uang akan terus melonjak naik dan menguntungkan segelintir pihak sementara sebagian besar lainnya terus dirugikan karena daya beli yang semakin menurun. Karena riba, hak sebagian besar orang untuk memperoleh lapangan pekerjaan dan akses modal terus dirampas oleh pasar-pasar uang dengan bunganya yang semakin meninggi dan hanya akan berkutat antar bank serta pelakunya yang hanya itu-itu saja. Dan akibat adanya riba, dari waktu ke waktu kita akan selalu dirugikan oleh beban riba yang terus menerus ada dan harus dipikul.

Contoh ilustrasi yang paling terlihat adalah KPR properti konvensional. Komponen properti seperti rumah atau tanah pada dasarnya adalah liability, bukan assets. Kecuali jika digunakan untuk mendukung proses bisnis atau usaha. Seperti menyewakannya untuk kos, membelinya untuk operasional kantor yang menghasilkan, atau untuk keperluan usaha-usaha lainnya yang memanfaatkan keberadaannya dan menghasilkan income. Pada mekanisme KPR, ada komponen bunga yang “seakan-akan” dihitung berdasarkan potensi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Belum lagi suku bunga yang tidak mengikat dan bisa naik setiap tahunnya dengan bilangan yang sama sekali tidak bisa diprediksi. Dan celakanya lagi, nasabah harus tunduk pada semua mekanisme ini tanpa akad yang pasti. Kalau sudah begini, yang pasti diuntungkan hanyalah segelintir pihak, antara lain: pengembang modal properti, pihak bank penyelenggara, dan para pemain tingkat dunia yang berada di atasnya lagi. Sementara pihak nasabah akan sama sekali tidak diuntungkan karena akan terus tercekik oleh beban bunga yang dikenakan padanya. Dan kenaikannya juga belum tentu setara dengan beban tersebut. Terlebih lagi akan sangat merugikan bagi sebagian besar orang yang belum berkesempatan mendapatkan akses modal yang cukup karena faktor daya beli yang semakin menurun, tergencet inflasi yang semakin brutal dan notabene juga disebabkan oleh proses ribawi itu sendiri.

Harga rumah dalam 2-3 tahun bisa naik 100%. Kenaikannya ini bukan benar-benar naik karena menghasilkan sesuatu atau nilai tambah. Kenaikannya ini juga bukan karena produk properti termasuk ke dalam komoditi penjamin nilai universal seperti emas dan perak. Lha wong barang diam (liability) kok tiba-tiba naik harganya. Sementara gaji yang disetarakan dengan tenaga manusia penggerak mesin produksi barang dan jasa belum tentu naik sepeser pun. Atau kalaupun naik, nilainya tidak setara dengan kenaikan harga properti yang setiap senin selalu naik gila-gilaan. Apakah ini yang disebut investasi zaman sekarang? Menghasilkan nilai tambah dengan cara menurunkan daya beli orang lain. Bukankah praktik rentenir, lintah darat, sistem ijon, dan sejenisnya pernah dikategorikan sebagai kejahatan yang paling jahat di negeri ini? Tapi mengapa praktik serupa melalui korporasi perbankan justru dilegalkan?

3 Biggest Confusion

Memang sudah banyak yang aware dengan kondisi praktik riba ini. Mungkin bukan hanya berasal dari kalangan muslim saja yang demikian. Karena sudah terlihat jelas buktinya, apapun judulnya riba, akan selalu membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Namun ada semacam kegamangan luar biasa ketika kita ingin meninggalkan riba.

sedekah jual beli hutang riba
Sumber gambar: http://www.youngmuslimdigest.com/editorial/03/2015/riba-usury-interest-and-quranic-ethics-2/
  1. Sharia is an option
  2. Yang pertama, banyak pihak yang menyangsikan peran lembaga atau bank syariah dalam melawan riba. Mungkin cukup beralasan. Karena pada kenyataannya, bank syariah yang ada sekarang belum 100% bebas riba. Minimal masih terikat suku bunga BI, dan pengelolaan dana syariahnya juga masih belum transparan, apakah terpisah dengan bank konvensional, atau justru digabung saja. Tapi justru seharusnya di sinilah peran kita. Peran untuk sama-sama mendukung sehingga lembaga atau bank syariah benar-benar bergerak tanpa riba nantinya. Kalau diberikan dua pilihan, yang satu jelas buruk tapi terlihat seakan menguntungkan, dan yang satunya lagi ada kebaikan di dalamnya walaupun sedikit, ya seharusnya yang dipilih adalah opsi kedua.

  3. We can’t avoid riba
  4. Tantangannya memang berat. Karena kita sekarang sudah dikelilingi praktik ribawi. Dari mulai cicilan rumah yang lamanya minta ampun, kredit smartphone yang katanya 0%, lifestyle untuk punya kartu kredit, pinjaman usaha tanpa agunan, sampai beberapa praktik bodong cara gila cepat kaya yang tidak jarang membuat para korbannya menjadi benar-benar gila. Bahkan kadang ada teman kita sendiri yang ngerti tentang riba tapi justru nyinyir dengan keapatisannya, “kalau tidak mau riba, ya jangan hidup di Indonesia, pergi sono ke pulau antah berantah” → ini beneran ada.

    Sebenarnya, kalau memang tidak bisa 100% meninggalkan karena memang tidak punya kuasa, ya jangan dimakan 100% juga. Karena riba ini sistematis. Tidak serta merta juga harus diselesaikan dengan keluar dari produk bank konvensional dan turunannya. Namun ketika kita masih berada dalam cengkeramannya, minimal diniatkan dengan sungguh-sungguh dan dengan cara-cara yang paling mudah terlebih dahulu, serta bertahap. Karena pada dasarnya agama yang saya tahu, Islam, itu mudah dan memudahkan. Mohon maaf saya tidak membahas agama lain karena bukan area saya.

    Yang dimaksud sungguh-sungguh di sini adalah mengerahkan segala kemampuan, pengetahuan, dan effort yang ada untuk mencari solusi melawan riba. Bukan akibat kepasrahan karena faktor umur yang mengharuskan pensiun baru meninggalkan riba.

  5. Committed after success
  6. Pada kenyataannya, tidak sedikit juga yang mengatakan akan meninggalkan riba setelah sukses. Padahal definisi sukses setiap orang bisa sangat berbeda dan tidak jelas. Apakah yakin setelah definisi sukses terpenuhi lantas langsung serta merta meninggalkan praktik riba? Pertanyaan selanjutnya, kapan? Sampai kapan kita diberi umur yang cukup untuk menyatakan bahwa kita sudah bisa menyebut diri kita sendiri sebagai orang yang sukses? Mengapa tidak sekarang saja kita nyatakan diri kita sukses?

Sedekah Sebagai Solusi

Saya seringkali diberitahu bahwa sukses itu adalah setelah kita menyukseskan orang lain. Cara menghasilkan pendapatan terbaik adalah dengan cara banyak-banyak memberi. Karena hanya orang yang benar-benar kayalah yang bisa memberi dengan leluasa. Kalau ada yang bilang secara matematis tidak masuk akal. Berarti akalnya belum masuk. Seperti halnya kalau ingin dibantu orang lain, ya sebanyak mungkin kita membantu orang lain. Semakin banyak kita menghargai orang lain, maka kita juga akan semakin dihargai. Bahkan hal yang sepele seperti senyum pun demikian. Senyumlah ke banyak orang yang kita temui, maka otomatis orang tersebut akan langsung tersenyum balik ke kita. Itulah sedekah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya: engkau berlaku adil kepada dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.'”.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Implementasinya, semua bergantung pada kemampuan kita masing-masing, atau diistilahkan dengan mastatho’tum. Cara bersedekahnya adalah mastatho’tum. Besarannya adalah mastatho’tum. Apa yang kita sedekahkan adalah mastatho’tum. Ada pula yang menyebutkan bahwa mastatho’tum adalah titik dimana kita berusaha semaksimal mungkin hingga Allah sendiri lah yang menghentikannya. Intinya mah terserah, yang penting sedekah. Masalah banyak sedikitnya tidak perlu dipermasalahkan. Masalah tepat sasaran atau tidaknya sedekah juga tidak perlu dipermasalahkan. Yang perlu dipermasalahkan adalah yang belum atau tidak sedekah.

Sedekah dalam Islam ada beberapa bentuk. Diantaranya adalah zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf. Atau sering disingkat ZISWAF. Termasuk di dalamnya ada ketentuan mengenai hadiah. Mengapa sedekah dikatakan sebagai solusi atas riba? Karena sedekah bisa memutar kepemilikan harta, menyebarkan alat tukar uang, dan memeratakan kemakmuran sehingga kekayaan akan terus bergerak, tidak berkutat pada pihak itu-itu saja. Sedekah akan otomatis turut menggerakkan proses jual beli sebagai instrumennya. Karena yang terlibat dalam proses jual beli lebih merata, maka pasar yang ada akan semakin didasari oleh murni pertukaran kebutuhan, bukan monopoli harga.

Moral ceritanya, apapun model bisnisnya, apapun profesinya, apapun perannya, awali semuanya dengan sedekah, jauhi riba, dan bersungguh-sungguhlah. Karena tidak ada kepantasan yang pantas dihargai selain kesungguhan kita.


Rangkuman weekly business coaching (versi saya)
Bandung, 10 Mei 2015
oleh Pak Riza Zacharias – Syaamil Quran

Referensi
http://www.alquran-indonesia.com/web
http://www.geraidinar.com/component/content/article/80-gd-articles/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1443-ketika-orang-kaya-tidak-bisa-tidur
http://geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1502-negeri-syariah
http://geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/184-positioning-riba-dalam-masyarakat-islam
http://www.pkspiyungan.org/2014/10/titik-mastathotum-kader-dakwah.html

23 thoughts on “[Kamisimak #3] Sedekah, Jual Beli, Hutang, dan Riba

    1. Sepengetahuanku sih mastatho’tum.. bergantung kemampuan masing-masing.. dibikin mudah aja om… kl dgn resign menjadi lebih baik ya resign… kl dgn resign jd malah berantakan ya jgn dulu… yg penting bersungguh-sungguh… masalah gmn caranya, atau kpn itu mastatho’tum… 🙂

      Liked by 2 people

  1. Makasih postingannya Mas Andik. Benar juga, di Indonesia memang masih sulit untuk benar-benar terbebas dari riba, apalagi dengan segala ‘kemudahan’ yang ada. Selagi masih ada alternatif produk perbankan syariah, walaupun belum sempurna, kenapa nggak? 🙂

    Liked by 1 person

  2. seperti disebutkan di atas, bank syariah masih tersangkut dengan aturan BI, salah satunya, bank syariah enggak boleh melakukan transaksi jual-beli atau yang semisal dengan maksud kalimat itu… jadinya ya… transaksinya dimodifikasi melalui akad perwakilan pembelian rumah.

    namun masih ada kelemahannya. tapi ya… dibandingkan dengan transaksi melalui bank konvensional, saya milih yang syariah. dan bbbrp waktu yang lalu, ketika saya bertransaksi untuk pembelian rumah di bank konvensional… akhirnya gagal di tengah jalan… alhamdulillah 😀

    Liked by 1 person

  3. setujuuu…
    sampai skrg sy sedapat mungkin menjauhi diri dari riba.
    gak usah apply kartu kredit, KPRnya diusahakan yg dr bank syariah.
    meski memang melakukan hal itu gak segampang ngomong. berdarah2 bgt dan butuh kemauan besar 😀

    Liked by 1 person

    1. sebenernya kartu kredit juga ada manfaatnya… ketika perjalanan ke luar negeri yang tidak memungkinkan membawa uang cash dalam jumlah banyak, di sinilah kartu kredit berperan… tapi ingat, sebisa mungkin limitnya tidak melebihi jumlah simpanan yang ada di rekening kita, biar bisa langsung dilunasi dalam sekali waktu… agar bebas bunga…

      Like

  4. Kunjungan perdana ke blognya Mas Andik 😆.

    Beberapa tahun terakhir ini, sejak krisis di Amerika yg diakibatkan mortgage, saya sama suami jd agak sering ngomongin ‘bubble’ dlm ekonomi. Yg dalam satu jangka waktu memperlihatkan kemajuan ekonomi, tapi sebenernya dalemnya bolong dan berpotensi krisis kalo ga dihandle dgn bener. Terakhir suamiku cerita katanya tahun ini angka penjualan rumah menurun sampe 50%. Lha iya, kalo naik mulu kapan pada mau beli rumahnya yak. Hahhahaha.

    Memang harusnya dimulai dari diri sendiri ya utk komitmen ga ambil riba. makasih mas andiq postnya bagus bgt :))

    Liked by 1 person

    1. wah, keren, sudah jauh membahas dunia luar (Amerika)… 😀
      ya memang begitu, kalau yang saya baca-baca malah mereka sendiri sedang kelimpungan mencari cara agar tidak krisis juga, bayangkan, negara yang berkoar-koar menggaungkan riba sendiri malah berpotensi krisis… karena memang peringatan Allah sudah jelas menyatakan pelarangan riba di bumi ini…

      Like

  5. Ada pengalaman pribadi tentang riba dan kartu kredit.. Suatu hari pemakaian KK saya lumayan gede tapi tidak melebihi limit dan saya pun berniat akan membayar lunas seperti biasanya supaya tidak menimbulkan riba. Eh dari bank terkait tiba-tiba gencar nawarin supaya tagihan KK-nya dijadikan cicilan bunga rendah bla..bla..bla.. Udah bilang “No thank you” eh maksa terus telepon selama seminggu sampe akhirnya nawarin cicilan 0% tapi biaya Adm-nya Rp 500 rebu😯 Bah! Akal-akalan bener! Akhirnya saya tegas bilang ke yg telepon: Pak, saya lagi menghindari riba karena ingin menghindari dosa!

    Liked by 1 person

    1. Nah itu… kalau kita lihat datanya juga pengguna kartu kredit AKTIF di Indonesia ini tidak sebanyak yang digembar-gemborkan oleh pihak marketingnya bank. Mungkin boleh dikatakan hanya 50%. Mengapa yg tidak aktif itu tetap dibiarkan saja, tidak ditutup, malah terus diberi promo biar menarik. Sekalinya tergelincir, mereka yang untung. Lucunya, orang-orang bank sendiri yang notabene mengerti bagaimana jahatnya bunga KK, juga ikut-ikutan menggunakan. Entah karen lifestyle atau karena memang kebutuhan. 🙂

      Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.