mengajarkan kebaikan anak

Mengajarkan Kebaikan [Anak]


Bismillah…

Kemarin, saya sempat melihat status seorang sahabat yang isinya lumayan membuat saya sedikit tertohok. Isinya lebih kurang seperti ini:

“Ajarkan anak ke mesjid” bagus, tapi pasti perjuangannya lebih berat dibandingkan dengan, “Contohkan anak ke mesjid”. — diedit seperlunya, karena ybs sering typo.

Ya, kita semua pasti ingin menjadikan anak kita adalah anak-anak sholeh, sholihah, serta berbakti. Rasanya seneng gitu ya, berandai-andai kita punya anak yang nurut, ga bandel, akhlaknya baik, pinter, ngerti agama, juga ngerti sama orangtuanya. Untuk yang baik-baik seperti ini, ga ada salahnya untuk kita aminkan dulu kali ya. Aamiin. Nah, tapi… perlu diingat, bahwa perilaku anak adalah hasil didikan dari orangtuanya. Sedangkan kita tahu, proses pendidikan orangtua terhadap anak adalah proses yang sangat istimewa. Berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Dan melibatkan tingkat kedekatan emosional yang luar biasa.

Saking istimewanya, proses pendidikan yang terjadi tidak bisa dipilah-pilah dengan mudah sesuai subjeknya. Semua bidang kehidupan diimplementasikan secara menyeluruh. Bukan hanya teori thok. Melainkan langsung diiringi dengan praktik langsung. Pembelajarannya ga tanggung-tanggung lagi, bisa menyaingi garansinya memory card. Seumur hidup, lifetime warranty. Bahkan lebih lama lagi, even after lifetime.

Kita Sering Lupa

Tapi justru karena keistimewaannya itulah kita sebagai orangtua sering lupa. Lupa kalau kita juga adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Lupa bahwa kita masih sangat perlu untuk belajar dan terus belajar. Lupa kalau yang benar-benar menentukan bagaimana akhlak seorang anak itu adalah Sang Pencipta Yang Maha pembolak-balik hati. Mau dipaksa kayak gimana kalau Allah belum berkehendak terhadap keshalihan seorang anak, ya tidak akan bisa. Masih ingat cerita tentang anaknya Nabi Nuh? Tapi, jangan lantas dijadikan alasan untuk tidak melakukan apa-apa terkait pendidikan anak ini ya. Bagaimanapun juga, anak adalah amanah. Tugas kita adalah berusaha sebaik-baiknya untuk mendidik, dan tetap berdoa agar segalanya tetap diberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Pendidikan Keluarga = Keteladanan

Anak-anak kita bertemu guru di sekolah mungkin hanya ketika berada di lingkungan sekolah, pada saat jam-jam sekolah, dan itupun kalau pas tidak libur. Beda halnya dengan kita orangtua yang hampir setiap hari bertatap muka dengan mereka. Dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai tidur lagi di malam harinya. Anak sudah pasti hapal dengan segala aktivitas keseharian kita. Jadi ga mungkin kalau pendidikan yang kita terapkan di keluarga hanya berupa teori. Apalagi hanya sekadar wacana. Basi. Anak itu melihat secara utuh kepribadian orangtuanya. Dan menjadikannya role model untuk bagaimana dia bersikap terhadap dunianya.

Ketika ada anak bandelnya bukan main. Yang pertama kali dipertanyakan seyogyanya adalah orangtuanya. Apakah orangtuanya juga bebal dari perbuatan baik? Ataukah pola asuh yang dilakukan hanya marah-marah melulu? Atau bisa jadi yang kita persoalkan adalah darimana harta dan makanan yang dikonsumsi oleh anak? Apakah halal atau haram? Jadi memang anak tidak bisa 100% disalahkan. Karena anak pada dasarnya adalah peniru yang ulung. Misalnya, kalau di teori kita ajarkan jangan berbohong. Tapi pada kenyataannya kita sendiri yang mempraktikkan kebohongan serupa namun beda skenario dan alasan. Yaa.. sama saja kan. Justru ketidak-konsistenan inilah yang berbahaya. Bakalan ada dualisme nilai yang dianut oleh anak.

Di sinilah peran keteladanan menjadi penting. Menjadi orangtua harus sesempurna mungkin di mata anak. Walaupun pada dasarnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. At least, jangan tunjukkan keburukan-keburukanmu di depan anak. Menjadi pribadi yang apa adanya memang bagus. Tapi lebih OK kalau sama-sama belajar menjadi pribadi yang lebih baik bersama anak. Ga usah terlalu berharap anak menjadi ahli ibadah kalau orangtuanya masih males-malesan ikut kajian dan sholat berjamaah di masjid. Ga usah terlalu berharap anak bisa menjadi hafidz Quran kalau orangtuanya tilawah saja jarang. Ga usah… ga usah… terlalu berekspektasi berlebihan. Cukup bercermin saja. Kalau mau menjadikan anak sholeh/sholihah, ya tidak ada jalan lain kecuali menjadikan orangtuanya juga sholeh/sholihah terlebih dahulu. #nonjok-ke-diri-sendiri

mengajarkan kebaikan anak
Sumber Gambar: The Muslim Show

Tidak ada kebaikan yang terlalu dini untuk dilakukan

Pertanyaan klasik, kapan? Jawabannya ya sekarang juga. Tapi kan anak masih kecil? Percayalah, tidak ada kebaikan yang terlalu dini untuk dilakukan. Yang namanya niat baik itu sudah satu set. Baik dari caranya, prosesnya, tujuannya, sampai turut campur Allah dalam mempermudah segalanya. Kalau hasilnya belum baik, berarti niatnya belum benar-benar baik.

Semua hal besar diawali dari yang kecil. Semua kebaikan yang besar diawali sedari usia masih kecil.

Wah, anaknya sudah terlanjur dewasa. Susah diatur. Bagaimana coba? Ya tetap dilakukan saja. Mau bagaimana lagi. Daripada tidak sama sekali. Ada Allah yang kuasa-Nya melampaui langit dan bumi. Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Hanya saja, relatif lebih berat di effort. Begitu sunnahnya.

Memang tidak ada kata terlambat, tapi jangan bergerak lambat, jangan meremehkan hingga kau benar-benar tak sanggup berbuat.

#a-note-to-myself


Pesan sponsor:
Maafkan bapakmu yang sekarang semakin jarang mengajakmu ke mesjid ya Nak. Karena “tembok” itu terlalu tinggi untuk kita panjat. Dari yang semula cuman 30 meter, kini menjadi 2.63 KM sesuai perhitungan Ad*-Jek.


Referensi

46 thoughts on “Mengajarkan Kebaikan [Anak]

      1. hahaha… tapi nice post
        kalau kata guru ngajiku..
        mengajari anak di usia yang sangat kecil itu sangat bagus.. apalagi mengajarinya berupa contoh yang dijalankan oleh orang tua..
        sebagaimana kita mengajari anak sholat.
        tapi kitanya jarang sholat..
        entar akan jadi boomerang saat anak itu sudah besar

        Liked by 1 person

  1. Betul banget, seperti yang saya tulis juga telah terjadi krisis keteladanan. Ya kita semua. Di kampung juga gitu, Mas. Bapak ibunya sibuk ngaji, ke masjid hobi, tp anak-anak dibiarin, ga diajak jemaah sholat. Masjid megah makin banyak, tp mana isinya? Kadang sy sendiri jg merasa agak repot kl bawa anak ke masjid padahal mereka pengin. Jadi PR sy Juga, makasih dah diingetin…
    Intinya ortu ga bisa lepas tangan gitu aja. Ini tema yg faktual dan aktual terus.

    Liked by 1 person

    1. Iya Mas, rasanya beda aja pas sering ngajak anak ke mesjid sama pas jarang. Kalau anak tidak sesering mungkin ditularkan nilai-nilai kebaikan dalam beribadah, khawatirnya akan semakin susah nempelnya. Semoga kita semua dimudahkan ya Mas, dan anak-anak kita selalu ditunjukkan ke jalan yang lurus.

      Liked by 1 person

    1. Betul. Itu yg bikin bener-bener mikir. Kita nuntutnya banyak, anak bisa ini bisa itu, tp kitanya sendiri kadang tidak sesuai dengan apa yg kita tuntut ke anak. 😦

      Like

  2. buat saya yang paling nonjok itu, “gimana mau membuat anak shaleh shalehah, kalau dikit2 malah anak yang dijadikan alasan.”

    tilawah susah karena ada anak
    gak dateng pengajian repot bawa anak.
    shalat malam susah karena anak rewel.

    eh, saya belum ngalamin siy, tapi pernah baca artikel semacam itu dan sdg berusaha sangat mengingat kalimat itu heu 😀

    Liked by 1 person

    1. Semacam nyari excuse ya Mbak. Sayangnya yg jadi korban excuse malah anak sendiri. Seandainya kalau dibalik kita nanti pas sudah tua malah dijadikan bahan excuse sama anak gimana ya… naudzubillah.. jangan sampai ya Mbak.

      Like

  3. Saya blm menjadi seorang ayah, namun saya merasa jd anak yg “gagal” mungkin utk org tua saya. Sebabnya banyak, bukan krna ortu ga mengajarkan kebaikan (ex:ke masjid dlsb), bukan juga krna pendidikan yg kurang bonafit (krna alhamdullilah saya & adk” sy selalu di tmpatkan pd dunia pndidikan cukup baik), bukan juga karna kurang asupan gizi, kelebihan gizi bisa jadi (karna saya dan adk” sy mempunyai gesture bdn yg cukup ideal hingga sedikit membuncit malah..eh, itu dl sih sblm ini) heheheee.

    Mungkin jika boleh menambah kan, yg terpenting itu “jangan terlalu memanjakan anak, jangan melulu dikasih uang & fasilitas yg berlebihan, dan jangan pula terlalu demokrasi terhadap anak. Otoriter, pelit dan sedikit pendekatan melalui diskusi dlm meja makan mungkin akan sedikit bisa merubah mindset anak, hal” begitu jrg terjadi dlm klwrga saya maka dr itu saya sering kehilangan momentum bareng klwrga dan lbb bnyk menghabiskan wktu bersama tmn”

    Gimana pun jadinya anak kelak,sbnarnya bkn salah ortu melainkan belum saatnya mungkin utk mengarah kesana, prcaya saja pasti akan ada momentum pukul balik keadaan akibat ulah anak yg mungkin krg baik saat kecil menjadi baik ketika dewasa. Banyak berdoa dan sering lakukan pendekatan jwbnya.

    *Coretan anak manja yg kehilangan jati diri ketika dunia berbalik 360°
    ^_____^

    Liked by 1 person

    1. Makasih bos sharing pengalamannya. 🙂
      Betul itu, momen kebersamaan dgn keluarga itu sangat penting. Ga akan bisa tergantikan dgn apapun. Dgn begitu mentalitas kita juga terbentuk dari komunikasi yg baik dgn keluarga. Mau kemana juga balik2nya ya tetep ke keluarga kok. Makanya tetap berdoa saja. Kita mah kewajibannya cuman berusaha dan berdoa. Hasil yg menentukan bukan kita. 🙂

      Liked by 1 person

  4. karena anak 0-7thn belajarnya dari meniru perilaku orang disekitarnya. Semangat ya mbah mencontohkan kebaikan ke anak \m/.
    Aku suka banget sama komiknya muslim show, suka bikin jleb mbah…

    Liked by 1 person

  5. Mengajarkan kebaikan bukan dg teori tp kasih liat prakteknya *yah itu yg aku lakukan knpa mengadakan silaturrohmi (makan bareng dg anak2 suamiku) krn aku ingin mereka kumpul-kumpul dg ayahnya dg saudaranya dg keponakannya menjaga silaturrohmi…

    Liked by 1 person

      1. Wuah masih lucu-lucunya dunk mas, cewek apa cowok mas? salam ya dr tante Cinta 😊

        Btw, artikelnya bagus mas. Kebetulan sm dg tema diskusi di kampus Cinta kmrin tentang “permasalahan anak dan cara mengatasinya”. Kl boleh Cinta nambahin ni :
        1. Peniru ulung itu usia 0-6th dmn orang tua hrs bnr2 jd manusia super smpurna utk si anak.
        2. Saat anak usia 13th ke atas, orang tua hrs bs mengikuti pola pikir si anak, anak jaman skr lbh kritis, beda dg anak jaman dulu yg kalo dibilang salah itu lgsg nurut dan ga ngelakuin lg. Anak jmn skr kl dibilang salah, malah nanya dmn salahnya? Kenapa ga boleh bgni ga blh bgtu, knp tmnq boleh ma? Bla bla bla… maka orang tua hrs melakukan transformasi mnjd umur 13th lg, mnjd tmn bgi si anak, dekati tmn2nya, dekati sahabatnya, dan dunianya. Dg cara ini si anak akan mrasa nyaman, merasa memiliki tmn crhat dlm bntuk org tua. Otomatis mreka kl ada msalah lgsg curhat ke ortunya.

        Liked by 1 person

      2. Cowok. Wah.. makasih atas share ilmunya tante cinta. Semoga bisa menjadi lebih baik dr waktu ke waktu. Walaupun tantangan setiap zaman pasti berbeda. Kita yg hidup duluan mungkin polanya akan berbeda dgn pola kehidupan anak-anak sekarang.

        Like

      3. Sma2 mas Andik, aamiin aamiin…utk point no 2 udah Cinta praktekin ke ponakan lho mas (alhamdulillah berhasil), mreka, 2 org ponakan perempuan sukanya curhat ke Cinta, tiap kali Cinta pulang krja, si Risha udah ada di rumah Cinta smbil blg, “hai pans (hai Fans maksudnya) trs ngobrol ba bi bu”. Kl yg 1 nya lg di kampung mas, curhatnya via phone atau chatt, sng bisa mnjadi 13th lg buat mereka 😊

        Like

  6. Terima kasih sharingnya Mas. Orang tua sebagai model panutan keluarganya, digugu dan ditiru, kewibawaan yang lahir dari keteladanan. Semangat terus belajar bersama menjadi orang tua ya Mas. Salam

    Liked by 1 person

  7. Setuju, Bang.

    Anak itu kan meniru ya. Kebanyakan sik mikir, kok aku ke masjid tapi Papa enggak? Nah kalok uda gitu nyahok deh, ngemeng doang. Egois namanya. Masa anaknya masuk surga sendirian. Hahah 😀

    Like

Leave a reply to imavandam Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.