Bismillah…
Sebelumnya saya mengucap belasungkawa yang mendalam atas kejadian meninggalnya 12 pemudik akibat kemacetan parah di sekitar pintu tol Brebes (Brexit). Innalillaahi wa inna ilaihi raajiuun. Semoga para korban mendapat tempat yang terbaik di sisiNya, dan semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat kemudahan dalam segala urusan. Juga semoga diberkahi kesabaran dan ketabahan yang luar biasa dalam menyikapi segala sesuatunya.
Terus terang, saya kurang begitu mengikuti berita tentang kejadian ini karena memang jarang nonton TV. Apalagi sekarang semakin enggan membuka situs-situs berita online yang kebanyakan isi dan komentarnya “ya begitulah”. Saya hanya mendapat informasi dari beberapa grup di Whatsapp, dan sedikit blog walking sambil lalu ke beberapa blog yang salah satunya adalah artikel menarik dari guru favorit saya, Pak Rinaldi Munir — Mudik yang Horor dan Hilangnya Rasa Empati.
Mengenai detail kejadiannya, bagaimana peliknya permasalahan transportasi darat, dan siapa yang patut disalahkan, sudahlah.. saya tidak mau membahasnya. Sudah cukup banyak “bola panas”, yang entah sengaja atau tidak, selalu dipermainkan dengan bumbu-bumbu permusuhan di negeri ini. Jadi, daripada ikut panas, lebih baik saya tidak ikutan memperkeruhnya dengan opini yang belum tentu benar. Malah mungkin cenderung ngawur. Lha wong siapa sih saya ini. Hanya setetes buih di lautan. **halah
OK. Intinya, saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman bagaimana rasanya terjebak macet total di dalam kendaraan yang begitu sesak dalam rentang waktu yang cukup lama. Walaupun mungkin tidak selama kejadian di pintu keluar tol Brebes (Brexit) kemarin itu. Oh ya, judulnya sepertinya terlalu lebay “suffering“. Tapi memang saya belum menemukan istilah yang tepat. Masa penderitaan? Sepertinya kurang pas. Tapi pokoknya begitu lah ya intinya.
Mudik Lebaran = Macet
Ceritanya waktu itu saya dalam perjalanan mudik dari Surabaya ke Trenggalek bersama Bapak dan Ibuk menggunakan jasa transportasi darat bis ekonomi antar kota dalam propinsi. Yang namanya mudik lebaran pastilah ramai. Semua tempat duduk terisi penuh dengan penumpang. Bahkan tidak sedikit yang berdiri karena tidak kebagian kursi penumpang. FYI, waktu itu saya masih kelas 1 SMP. Kebetulan beruntung mendapat tempat duduk di posisi paling depan persis di belakang kursi supir. Tapi, saya bukan penumpang yang duduk di posisi paling depan. Ada beberapa orang yang duduk di lantai bis di ruang kosong sebelah kirinya supir. Pernah tahu bagian atasnya mesin bis yang juga biasa digunakan orang untuk duduk? Di situ juga penuh orang duduk berjubel. Yang jelas waktu itu di dalam bis sangat sesak dengan penumpang. Jangankan selonjor, memindah posisi kaki barang sekian senti saja sulitnya bukan main. Terlalu mepet.
Dan sudah dapat ditebak, selain padat orang, jalanan juga macet. Dari tahun ke tahun memang sudah biasa seperti itu. Tapi, waktu itu mungkin adalah pas kejadian “spesial”. Macetnya bukan sembarang macet. Parah dan total. Walaupun untungnya tidak sampai ada berita korban yang meninggal akibat macet seperti kejadian di Brexit. Mungkin karena jarak tempuhnya relatif dekat, jumlah kendaraan masih belum sebanyak sekarang, dan posisinya bukan di jalan tol.
Tapi macetnya emang parah sih. Bayangkan, satu arah jalan Mojoagung – Mojokerto yang biasanya hanya muat dua jalur, waktu itu dipenuhi kendaraan dari dari satu arah sebanyak lima jalur dan sama sekali tidak bergerak alias deadlock. Sedangkan arah yang berlawanan terdapat tiga jalur yang juga sama, tidak beranjak sedikitpun. Tidak jelas apa penyebabnya.
Macet = Panas
Alhasil, semua merasakan kegerahan yang luar biasa. Jangan dibayangkan kalau bis ekonomi antar kota dalam propinsi itu selalu ber-AC ya. Tidak selalu seperti itu. Bahkan sampai sekarang pun masih demikian. Dan jangan diasumsikan kalau setiap bis ada jendelanya. Kalaupun ada, posisinya di atas, sempit, bahkan tidak muat kepala orang dewasa. Kalaupun bisa dibuka, dalam kondisi macet parah, jangan dibayangkan langsung ada angin semilir yang berhembus ke dalam. Percayalah, angin jalanan di kondisi macet itu isinya debu, asap kendaraan, dan panasnya bukan main.
Kok tidak keluar saja dari kendaraan kalau memang macet parah dan kondisinya berhenti? Ada sebagian orang yang beruntung bisa keluar dari kendaraannya. Tapi tidak sedikit pula yang terjebak di dalam tidak bisa keluar dengan mudah. Termasuk bis yang saya naiki waktu itu. Ruas jalan yang biasanya muat empat jalur, dipaksakan hingga delapan. Mepet kan. Kalau mepet buka pintunya bagaimana? Mungkin hanya mobil-mobil bertipe sliding-door yang punya cukup kapabilitas akses mudah walaupun kondisi mepet dengan kendaraan lain.
Bukan Hanya Panas dan Gerah
Persoalannya, masalah yang timbul tidak sesimpel kegerahan atau kepanasan saja. Kalau satu-dua jam dalam kondisi seperti itu mungkin masih bisa ditolerir. Lha kalau sampai 44 jam seperti yang terjadi di Brexit bagaimana. Kebutuhan untuk makan, buang hajat, istirahat atau tidur, sholat. Belum lagi yang pas membawa anak berusia balita. Kasian kan. Untungnya waktu itu hanya sekitar 12 jam, dari yang biasanya bisa ditempuh normal dalam 4-5 jam. Tapi ya begitu. Agak miris mendengar tangisan anak-anak kecil di dalam bis. Saya pun sudah hampir tidak tahan dengan pengapnya udara sekitar. Tapi dasar orang-orang Indonesia ya. Semangat bisnisnya tinggi. Para penjual makanan dan minuman keliling pun ga kalah ramainya dibanding kemacetannya. Alhamdulillah berkat mereka banyak orang terbantu. Saya sendiri menyempatkan diri untuk membeli beberapa makanan ringan dan satu hal yang paling penting kala itu, yaitu air. Tidak tanggung-tanggung air yang dingin yang masih ada es batunya di dalam. Begitu dapat, langsung saya minum dan sebagian saya siramkan ke kepala. Cesss… langsung dingin. Dan ternyata hampir semua orang melakukan hal yang sama. Tidak peduli mau basah atau gimana. Lha wong baju kita memang sudah basah sah oleh keringat yang mengucur deras berjam-jam lamanya.
Dari Tahun ke Tahun
Semenjak saat itu, saya dan keluarga tidak pernah mengambil risiko mudik di waktu-waktu padat arus mudik. Palingan kalau tidak pas malam takbiran, ya H+ sekian. Karena memang luar biasa perjuangannya. Apalagi naik kendaraan umum kelas ekonomi dengan fasilitas dan kondisi seadanya. Sebaiknya pikirkan lagi masak-masak. Terlebih kalau membawa anak kecil atau orang yang sudah agak sepuh. Pernah melihat situasi ganasnya berebut kursi penumpang bis pada saat mudik lebaran di terminal-terminal? Pernah melihat anak kecil yang dimasukkan duluan melalui jendela bis hanya untuk biar dapat kursi untuk beberapa keluarganya? Saya pernah. Pernah menjadi anak kecil itu. 🙂
Saya sih berharap kondisi transportasi darat khususnya di negara ini menjadi lebih baik. Ya masa dari tahun ke tahun kejadian serupa selalu terulang. Macet. Kecelakaan. Akhirnya ribut ga jelas. Saya pikir tidak selalu salah pemerintah juga. Kita sebagai masyarakat juga kadang-kadang terlalu bebal untuk memaksakan diri demi ego pribadi dan keluarga.
Salam. Hati-hati di jalan bagi yang masih mudik! Semoga terhibur dan semoga selamat sampai tujuan berjumpa dengan keluarga tersayang. Lanjut pak supir…
Ngeri ya bang kejadian di brexit kemarin tu, 44 jam habis hanya di satu ruas jalan. Kl 44 jam itu semuanya malam mungkin masih mending, tapi kl siang atau ditambah hujan… duh. Saya dulu pernah mudik dari jakarta ke solo sekitar 27 jam (dua kali lipat dari waktu normal) itu aja rasanya kapok… apalagi mereka itu ya…
LikeLiked by 3 people
Banget.. kalo bukan di jalan tol juga mungkin masih mending… eh, tp ga ada yang mending sih, kalo bisa ga macet ya sebaiknya jangan sampe macet lah.. kasian, terutama yg bawa anak-anak kecil..
LikeLike
Aamiin. Liat fotonya aj ikut sesak. Ga mbayangin disana dan panasnya bakal bikin dehidrasi abis
LikeLiked by 1 person
Iya mbak Risa, ga kebayang kalau ikut berada di tengah-tengah kemacetan parah yg kmrn itu.
LikeLiked by 1 person
Halo mas, iya setuju klo mau mudik pas hari H selepas sholat ied, waktu kmren saudara saya jalan ke jawa habis sholat ied sama sekali gak macet di brebes,,sy H-3 lumayan 3 jam di brebes..salam
LikeLiked by 1 person
Nah.. saya pikir juga termasuk salah satu solusi juga buat meminimalisir. Tp yg namanya mudik lebaran biasanya ya tetep rame sih. 😀
LikeLike
Buat pintu exit dari tol-nya gak mikir matang sih. Kalo akses setelah keluar tol lancar dan bisa disebar gak bakalan kejadian seperti itu. Ikut dukacita bagi mereka yang meninggal.
LikeLiked by 1 person
Mari kita doakan saja para penyelenggara negara ini supaya diberi kemampuan dan niat yang bener, Mas. 🙂
LikeLike
“Pernah melihat anak kecil yang dimasukkan duluan melalui jendela bis hanya untuk biar dapat kursi untuk beberapa keluarganya?”
Aku juga pernah 😀 waktu kecil….
Mobil murah, banyak dicicil mudah, entah mekanismenya, apakah sesuai panduan imannya, yang jelas banyak yang ingin punya… ruas jalan lebih lambat bertambah…. akhirnya meledak mudiknya… pemerintah divonis salah… 😀 sedangkan pemudik tak pernah salah… mungkin ada manusia sempurna… yang selalu bisa melihat orang lain salah… kecuali dirinya 😀
LikeLiked by 3 people
“Mungkin ada manusia sempurna.. Yang selalu bisa melihat orang lain salah.. Kecuali dirinya”
Kata kata yang luar biasa…
H
LikeLiked by 1 person
Mantab memang. 😀
LikeLike
Podo-podo wong jawa timure kelas grass road… hihihi.
Sabar-sabar.. yg biasanya begitu itu cap gajah. **melipir 😀
LikeLike
Mmm.. berhubung kakek-nenek saya sdh meninggal, jadinya ga ada mudik2an d kampung halaman. Mudik siiih, tpi memilih mudiknya bukan pada saat lebaran.
Apalagi ada anak bayiiii, ga bisa gerah. Ga bisa panas. Bisa2 ngamuk dengan segala rupa.
LikeLiked by 1 person
Wah, betil mbak.. saya pun kalau bawa anak bayi bakal mikir 1000x. Kasian.. 🙂
LikeLike
Beberapa jam aja sy sudah gerah.. apalg puluhan jam.. masyaallah
LikeLiked by 1 person
🙂 iya mbak, lha wong mudik biasa yg seharian aja udah payah, apalagi sampe hampir 2 hari..
LikeLike
saya lgsg gerah, nggak kebayang gimana rasanya kalo beneran ikut kejebak di Brebes waktu itu. duh semesta…
LikeLiked by 1 person
Kasian om. Kita mengalami macet harian di kota-kota besar saja sudah ga nyaman. 🙂
LikeLike
Saya turut berbelasungkawa atas kejadian di Brexit. Mudah-mudahan kita semua bisa belajar dari kejadian macet kemarin jadi tidak terulang lagi di kemudian hari. Syukur alhamdulilah kemarin mudik saya lancar-lancar saja, tak ada kemacetan yang berarti. Dulu pun saat mudik dengan bus (Jakarta–Mataram 48 jam) waktu tempuhnya masih normal. Saya yakin kalau semua berusaha, mudik di tahun-tahun depan bisa jadi semarak bagi semua.
LikeLiked by 1 person
Aamiin. Makasih Gar.
Weleh, itu 48 jam di jalan? Kalau saya mungkin udah telerrr..
LikeLike
Ngeliat fto nya udah berasa pengapnya mas, gak sanggup kyaknya klo berada disituasi itu. Aku termasuk org yg gak pernah mudik, setiap lebaran slalu ke rumah nenek yg meskipun beda kota tetapi jaraknya cuma butuh waktu tempuh lebih kurang 90 menit
LikeLiked by 1 person
Alhamdulillah. Justru bersyukur karena tidak terlalu pusing dgn urusan persiapan dan pelaksanaan mudik yg jaraknya jauuhh setiap tahunnya. Yang penting tetap sambung silaturahim. 🙂
LikeLiked by 1 person
Dua tahun lalu saya 32 jam dr yg seharusnya cm 10 jm
LikeLiked by 1 person
Waduh. Berapa kali lipat tuh… **tutup mata
LikeLike
Ternyata oleh2 cerita teman saya yang baru jalan kebumen-jakarta 25 jam memang tidak ada apa2nya… dan saya tercengang mndengar ceritanya itu…
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Tiap tahun pemerintah dapat tantangan baru terkait masalah mudik. Smoga slalu didapatkan solusi yg efektif
LikeLiked by 1 person
Aamiin. Semoga tahun depan menjadi lebih baik ya mas. Memang luar biasa saudara-saudara kita yang sanggup melakukan perjalanan mudik walaupun berjam-jam. Tapi asalkan demi kepentingan silaturahim Insya Allah berkah.
LikeLiked by 1 person
Saya kira tidak lebay kok soal suffering ini karena demikian adanya. Saya sempat terjebak 56 jam dari waktu tempuh normal 16 jam. Waktu mudik paling lama pernah 30 jam, tapi kemarin itu memang rekor. Kami ga bisa maju, mundur pun tak bisa. Di tol palikanci rest area jarang sehingga untuk makan, solat, buang air dan cari bahan bakar sulitnya minta maaf. Udah keluar dari brexit masih kena macet di Tegal jadi maklumlah pemudik gerah terlebih yang bawa balita. Kami memang tidak menyalahkan pemerintah, cuma ya mau mengadu ke mana lagi kan memang pemerintah yang punya kuasa. Apalagi sebelumnya pak presiden udah jamin lancar, ya kami tak bisa disalahkan juga. Di Tegal ada seorang ibu ya cuma bisa nangis karena ga yakin bisa nyampe rumah. Bensin abis, mobil ga bergerak, macet tak juga terurai. Semoga menjadi pelajaran untuk kita semua di tahun tahun berikutnya ya. Saling menyadari dan memperbaiki. Byk the way, foto di atas bukan foto mudik kemarin kan Mas?
LikeLiked by 2 people
Terima kasih banyak atas sharing-nya Mas. Jadi agak “ngeh” terkait situasi jalur mudik yg parah kemarin itu. Bener juga sih ya. Kalau bukan minta bantuan ke pihak yang berwenang mau minta bantuan siapa lagi (selain doa kpd Tuhan tentunya).
Bukan Mas, itu saya pinjem… eh, minta fotonya temen yang pernah motret kondisi macet parah di jalanan sebagai ilustrasi saja.
LikeLike
Lha, iya pemerintah layak disalahkan, hehehe… apalagi pemerintah sampai kasih jaminan mudik lancar. Ternyata banyak korban brexit, Innalillahi…
LikeLiked by 1 person
Iya, Mas. Ekspektasi terlalu tinggi
LikeLiked by 1 person
ngeri ngelihat arus mudik sekarang2 ini. sampai ada yang meninggal segala
LikeLiked by 1 person
Iya Bang. Serem.
LikeLike
sama banget pengalamannya waktu saya masih SD-SMP jaman dulu, mas.
bis ekonomi yang penuh sesak, panas dan waktu terasa lamaaa gak nyampe2 XD
LikeLiked by 1 person
Hehe.. sepertinya kita senasib dan seangkatan Mbak. 😀
LikeLike
Like this banget nih bang..salam
LikeLiked by 1 person
Siyap..
LikeLike
macet. saya pun stress karenanya
LikeLiked by 1 person
Betul mb Sari. Daripada macet mending ga macet. **ya iyalah
LikeLike
Apa kabar mas Andik ??, sebelumnya Mohon Maaf Lahit Batin.
.. salam saya ‘eks’ kolega kantor dari Jakarta yg pernah main ke kantor Bandung 😀 (*eh itu rumah ding..bukan kantor) hahaha
Baca pengalaman nya mas Andik diatas, berasa baca blog sambil naek angkot.
Macetnya boleh di adu dg macet sehari2 di Jakarta 😛
LikeLiked by 1 person
Ini om Hary ya? Hehehe.. pakabar om? Pantesan liat blognya bhs planet semua isinya.. 😀
LikeLike
Kalau saya biasanya mudik H+2 atau ketika malam lebaran… menghindari jalanan yang macet banget…. udah paling capek kalau harus duduk lama di mobil karena terjebak macet…
Tapi kemarin saya mudik untung nya jalan tidak terlalu macet…
Salam…
LikeLiked by 1 person
Betul Mas. Saya biasanya juga begitu. Malah dulu pernah agak ekstrem, mudik H+4. Sepi banget. Yg rame arus baliknya. 😀
LikeLike
karena itulah saya biasanya mudik nggak di saat liburan.tiket lebih murah, nggak macet,cuma jatah cuti yang kepotong lebih banyak aja kareng nggak kebantu hari libur. Tapi berhubung memang nggak bisa sering2 pulang karena kampungnya jauh sih nggak masalah lah, quality over quantity (menghibur diri)
LikeLiked by 1 person
Wah salut. Mungkin jauh lebih baik begitu. Untuk mengunjungi orangtua kan ga harus selalu pas lebaran. Disarankan sesering mungkin malahan. 🙂
LikeLike