Bismillaah…
Masih hangat di ingatan saya ketika masih “lucu-lucunya” duduk di bangku perkuliahan. Waktu itu, saya dan banyak teman-teman sejurusan, mungkin sampai lintas angkatan, sedang mengikuti sebuah seminar tentang keprofesian di bidang IT. Yang paling berkesan adalah saat ketika salah satu keynote speaker (nah kalau yang ini saya benar-benar lupa siapa gerangan namanya, ibu-ibu kalau tidak salah), bertanya kepada audience tentang siapa yang sampai sekarang tidak menggunakan hp. Sontak, saya dan seorang sahabat saya mengacungkan jari (bukan jari jempol yang digoyang ya, apalagi jari tengah ❗ ) sebagai tanda bahwa kami lah yang mengaku tidak menggunakan hp saat itu. Eh, ternyata yang mengacungkan jari hanya kami berdua. “Wah… langka nih, patut diapresiasi pilihan hidupnya, berarti yang lain adalah generasi jempol,” begitu kata beliau sambil sedikit melirik kepada kami sebagai tanda sindiran pujian. Maksudnya, adalah generasi pengguna hp yang waktu itu masih populer dengan antarmuka candybar atau keypad yang dipencet-pencet dan paling enak memang menggunakan jempol.
Kini, pilihan jari yang digunakan sudah bebas. Tidak hanya jempol yang berperan. Semua jari bahkan jari kaki pun bisa dipakai untuk berinteraksi dengan perangkat mobile. Serius. Pilihan merk-nya pun juga sudah beragam sekarang. Kalau ada yang bertanya, “pake hp apa?”. Biasanya dijawab dengan pertanyaan juga, “hp yang mana?”. Sekarang satu orang sudah tidak tren kalau hanya punya satu hp. Untuk sms dan telpon, cukup menggunakan hp N*kia jadul atau hp cina yang murah meriah. Untuk penggunaan lebih umum pake yang Andr*id spek tanggung. Untuk keperluan gaul biasanya sedia Bl*ckberry atau iPh*ne. Untuk gaming bisa Andr*id spek edan. Belum lagi tablet dengan fasilitas layarnya yang lebih luas. Jadi saya simpulkan bahwa generasi sekarang sudah bergeser menjadi generasi kelingking (kelompok orang berkepentingan khusus akan banyaknya perangkat mobilitas tinggi yang dimiliki). **super maksa 😛
Apakah ini masalah? Belum tentu. Bisa saja seseorang memang benar-benar memerlukannya. Mungkin memang urusan komunikasinya yang sangat banyak hingga perlu membaginya ke banyak device. Atau yang kurang kerjaan seperti saya ini, yang hanya dipakai untuk melakukan testing aplikasi mobile bikinan sendiri orang. **pembenaran 😀 FYI, kebetulan saya punya dipinjami tujuh (7) nomor aktif beserta device-nya yang biasa saya gunakan untuk keperluan testing. Yaa.. apapun alasannya, berapapun gadget yang dimiliki, yang penting tetaplah hidup di dunia nyata. Karena mungkin ada juga korelasinya antara kecenderungan apatisnya orang-orang sekarang dengan tren penggunaan mobile device yang sudah menjadi barang konsumsi primer. Mungkin…
Yup! Makanya aku sering offline-kan gadget supaya bisa ttp hidup di dunia nyata.. Dan skrg cm satu hp aja yang dikasih paket internet. Hihi..
LikeLike
Hehe.. kadang sering tergoda jg sih.. secara pekerjaanku berhubungan dgn internet dan harus pake internet.. jd mau ga mau ya hrs tahan iman 😀
LikeLike
saya generasi tablet kkk mari menggambaaar 😉
LikeLike
Iya euy.. saya iri dengki krn tidak punya tablet.. kl cmn pake hp susah nggambarnya.. :))
LikeLike
tablet padahl jauuuh lbh murah daripada smartphone …. 🙂
LikeLike