keadilan yang hqq

Keadilan Yang HQQ


Bismillah

Jika kita mempertanyakan keadilan Sang Maha Pencipta, maka itu artinya sama saja kita tidak sedang berbuat adil. Kok bisa? Jelas to, lha wong keadilan Allah itu sudah mutlak kok. Walaupun dengan atau tanpa pengakuan saya dan sampeyan. Kalaupun ada sebagian hambaNya yang merasa tidak puas, sebenarnya Allah itu sama sekali tidak keberatan untuk menerima segala bentuk protes. Tapi yaa protes protes saja. Masalah digubris atau tidak itu kan hanya masalah kedekatan si pemrotes terhadap yang Diprotes. Bagaimana mau nyampe pesan protesnya kalau yang Diprotes berada di atas arsy, sedangkan yang mrotes cuman bisa ndremimil nangis sendirian di pojokan kamar. Terus baper sambil bilang, “Ya Allah, mengapa takdirMu tidak adil bagiku??“. Tapi dasarnya ya, memang sungguh besar kasih sayang Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Se-ndremimilndremimil-nya hambaNya, tetap akan didengar, tetap akan dijawab. Walaupun kadang jawabanNya itu tidak mudah dipahami. Jauh lebih rumit daripada bahasa #kode nya seorang wanita kepada pasangannya. Kebayang kan? Saya sih belum.

Sehingga kalau ngomong soal keadilannya Allah, seharusnya kita sudah sepakat bahwa segala kebijakanNya itu sudah serba perfect dari sononya. Saking perfect-nya, sampai-sampai tidak ada celah sama sekali buat saran atau kritik yang membangun. Apanya lagi yang mau dikritisi? Selain itu, keadilanNya juga mencakup seluruh keseimbangan jagat raya yang masing-masing tentu ada kadarnya, baik kadar materi ataupun kadar dimensi. Dari dulu, sekarang, hingga nanti semua tetap dalam naungan keadilannya. Keadilan HQQ yang seadil-adilnya sebagaimana Dia mengajari kita dengan alaisallahu bi-ahkamil hakimin – bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya? Tapi ya dasarnya hamba-hambaNya yang kelewat kreatif ini, lebih suka melodrama ketimbang realita. Mudah mengakui keberadaanNya tapi sangat sulit menerima ketentuanNya. Padahal sejatinya yang “tidak adil” itu hanya sebatas “yang dirasa“, bukan “yang dimakna“.

Lalu, apakah keadilan Allah itu pasti termanifestasi ke dalam sikap keadilan hamba-hambaNya terhadap apa yang dipercayakan kepadanya? Nyatanya belum tentu. Tapi juga bukanlah hal yang tidak mungkin. Memang benar Allah Maha Adil. Tapi Allah melalui firmanNya juga menyuruh kita untuk berlaku adil dan berbuat ihsan innallaha ya-muru bil’adli wal ihsaan. Mustahil rasanya kalau kita disuruh tapi kita tidak diberi kemampuan. Tinggal kriteria mampunya ini yang setiap makhlukNya diberikan ukuran berbeda-beda. Ada yang mampu adil sebagai pemimpin negara. Ada yang sanggup berlaku adil dalam perniagaan. Ada pula yang dapat bersikap adil kepada yang dua, tiga, atau empat. #janganbaper

Uniknya, surat perintah tentang keadilan ini tidak serta merta dijelaskan ukuran-ukurannya secara rinci. Hanya diberi patokan nilai yang luar biasa unlimited, yang tidak lain dan tidak bukan hanya Allah lah yang berhak berada di level itu. Sementara kita hanyalah berupa subset yang mewarnai cerita berjalannya keadilan Allah. Mau berusaha adil, ya memang begitu perintahnya. Kalau mau abai juga silakan. Hanya saja ketidakadilan yang kita perbuat PASTI akan disetimbangkan dengan keadilan Yang Maha Adil, dengan mekanisme-mekanisme keadilanNya yang mungkin kita tidak akan cukup ilmu dan usia untuk bisa mengerti semuanya.

Tapi lagi-lagi dasarnya kita ini memang terlalu angkuh dalam berilmu hingga menganggap bahwa ketidakadilan itu hanyalah sesuatu yang tidak mengenakkan, yang menimpa diri sendiri. Sementara perlakuan dosa pribadi tidak dianggap sebagai ketidakadilan. Bukankah dengan melakukan dosa artinya kita sedang berbuat tidak adil terhadap kalamullah? Mungkin benar kata Ebiet G. Ade, kita ini hanya seonggok tulang belulang “yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa“. Jangankan mau introspeksi menarik benang merah terhadap situasi ketidakadilan. Lha wong mengakui diri sendiri telah berbuat tidak adil saja sama sekali tidak kepikiran.

Memang, yang paling mudah itu meributkan sesuatu yang bertentangan atau yang sengaja dipertentangkan. Katakanlah, taksi daring dengan taksi konvensional. Ojek aplikasi dengan ojek pangkalan. Angkutan online dengan angkot ompreng. Padahal kesemuanya itu bisa saja terjadi akibat ketidakadilan yang terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak adil dalam hal peraturan. Tidak adil dalam hal kualitas mutu pelayanan. Tidak adil dalam kesetaraan akses usaha transportasi. Dan ketidakadilan-ketidakadilan lainnya yang mungkin saya lebih banyak ga tahunya. Dan saya sendiri memang berharap tidak tahu, apalagi sampai mengerti. Karena pada prinsipnya orang yang ga tahu itu ga dosa. Makanya, ada hal-hal yang kadang justru lebih baik jika kita tidak tahu dan tidak mengerti. Tidak setiap persoalan patut dikepoin dan dikomentari. Bisa gila sampeyan… eh, saya maksudnya.

Apalagi? Oh ya.. sebut saja kasus istilah “pribumi” yang kini sedang jamak jadi omongan khalayak zaman now. Di mana letak ketidakadilannya? Lha justru itu saya juga ga yakin kalau tahu. Daripada saya salah menerka kan blaen. Bisa-bisa saya tidak berbuat adil ntar. Barangkali yang mbaca blog ini lebih tahu atau bahkan punya pengalaman tersendiri terkait kata tersebut? Monggo di-share kalau tidak keberatan. Saya sedang cukup pusing dengan keruwetan anggaran belanja negara yang konon katanya disebabkan oleh lesunya daya beli masyarakat. Sampai-sampai blog ini tidak pernah terurus. Sekalinya posting malah tidak runut, alakadarnya, dan tidak mudah dimengerti. Hehe… Tapi ya, saya tetap berdoa, semoga kita diberi cukup pengetahuan agar mengerti. Dan diberi pengertian agar tahu. Kalaupun tidak tahu, semoga kita tahu kalau kita tidak tahu. Ya Allah, mohon dimaklumi ya kalau tulisan ini muatannya tidak cukup adil di mataMu. HambaMu ini hanya sedang BU.

7 thoughts on “Keadilan Yang HQQ

  1. Taksi daring mungkin di Bandung aja bikin ribet. Kotanya besar, penduduknya banyak yang kreatif, perguruan tingginya top markotop, kulinernya ueenak tenan, -eh gak ada hubungan kuliner dengan taksi daring, ya- tapi kok gak mau ikut kemajuan yang mempermudah? Mungkin taksi konvensional perlu usaha keras lagi.

    Liked by 1 person

    1. Hehehe.. sepakat mas Alris. Memang sangat perlu untuk mengkaji lebih dalam terkait keadilan yang diterapkan untuk transportasi, khususnya transportasi darat yang digunakan sehari-hari. Di satu sisi kita seharusnya tidak perlu menolak perkembangan teknologi. Tapi di sisi lain ada faktor kecemburuan sosial yang perlu diselesaikan juga.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.