satunya kata dan perbuatan

Satunya Kata dan Perbuatan


Bismilah

Terus terang, hal yang paling sulit dari menulis atau berucap itu sungguh bukan dalam hal mencari topiknya. Bukan pula dalam hal merangkai kata-katanya. Percayalah, saya mungkin bukan pujangga, saya mungkin tak selalu ada, ini diriku apa adanya. #lah #skip #jebakanumur … Tapi, sungguh yang paling sulit itu adalah bertanggung-jawab atas implementasinya. Benar-benar menerapkan kepada diri sendiri terhadap setiap apa yang kita sampaikan kepada orang lain. Benar-benar sesuai antara omongan kita kepada khalayak dengan kenyataan yang kita lakukan di lapangan. Benar-benar klop antara ucapan dengan kelakuan. Atau istilah statusable-nya, satunya kata dan perbuatan.

Mengapa sulit? Karena kalau gampang, mungkin dunia ini tidak akan banyak intrik yang berwarna-warni. Hoax sudah dipastikan tidak akan dapat tumbuh berdiri. Dan kemunafikan tidak akan turut menguasai. Kalau hal ini mudah, sudah barang tentu kata-kata “maaf palsu” tidak akan diobral dengan enaknya seperti sekarang ini. Pun fitnah sana fitnah sini tidak akan lagi menjadi komoditi. Karena sejatinya fitnah itu adalah tuduhan keji yang sumbernya dari bibir, namun lain di hati.

Dalam skala yang lebih tidak mengenakkan, persoalan ini juga terkait erat dengan branding negatif yang kini trennya sedang menunjuk langsung kepada batang hidung bangsa ini. Kegaduhan-kegaduhan hidup bernegara sudah mulai membuat banyak pihak geram. Padahal, jika ditarik benang merahnya, ujung-ujungnya hanyalah kepentingan politik yang dimiliki oleh orang-orang itu saja. Rasanya sudah terlampau jauh inovasi kemunduran bangsa ini yang dulu “katanya” adalah bangsa yang ramah, murah senyum, dan lemah lembut terhadap sesama. Kini yang tersisa hanyalah “kekereatifan” dan “keraiban” lokal yang masih saja terumbar ke sana kemari. Tidak banyak yang bisa dipegang. Pantas saja, brand-brand dari negeri ini sulit sekali bisa populer. Mungkin karena antara apa yang digadang-gadang dengan apa yang menjadi kenyataan sangatlah tidak sesuai. Katanya menjunjung tinggi bhinneka yang tunggal ika. Tapi begitu ada yang berbeda, langsung dicaci, “tinggal di Arab sana”. Katanya nasionalisme sejati, tapi sama saudara sendiri bencinya setengah mati. Katanya “melindungi dan melayani”, tapi sedikit bersuara ancamannya bui. Sepertinya begitu banyak “katanya, katanya, dan katanya” yang seharusnya tidak mudah digembar-gemborkan di negeri ini.

Mungkin banyak yang lupa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bagaimana bisa bangsa lain menjunjung apa yang menjadi junjungan kita kalau kita sendiri yang justru tidak mengindahkannya. Bagaimana orang lain bisa percaya kalau yang seharusnya kita jaga malah kita telantarkan. Kalau kata-kata sudah tidak bisa dipercaya, apalagi yang dapat dipegang? Ajining diri dumunung ana ing lathi (nilai seseorang terletak pada ucapannya). Benar itu ya sudah seharusnya dikatakan benar. Kalau salah akui kalau itu salah. Merah bilang merah. Putih utarakan putih. Begitu pula biru, hitam, dan hijau. Itu jelas. Karena sungguh sejatinya tidak ada rumus dalam perkara abu-abu kecuali antara #111111 dan #EEEEEE. Halal dan haram pun batasnya tegas. Setegas pemisahan antara yang haq dengan yang bathil. Jangan pernah bermimpi akan ada hukum baru bernama “halam”.

Mars Loedroek ITB

Cak ojo lali Cak, peno Loedroek ITB
Sujud sembah syukur, marang Sing Kuwoso
Bekti nang wongtuo, bekti nang negoro

Cak ojo lali Cak, peno Loedroek ITB
Abang ngomong abang, ijo ngomong ijo
Kudu wani mati demi kebenaran
Kudu wani mati demi kebenaran

Kata-kata bukan hanya sekadar media komunikasi. Ucapan bukan hanya sekadar sarana penyampaian. Tidaklah seorang hamba memantaskan rasa syukurnya kecuali dengan mengakui kemahaanNya secara lisan dan di dalam hati. Tidaklah manusia menjadi manusia sejati kala tidak mampu membedakan mana sumpah mana serapah, mana bukti mana janji. Tapi memang, semuanya tidak terlepas dari qadarullah yang mewakilkan hati membisikkan ke seluruh segenap jiwa untuk “berlaku” seperti kata demi kata yang dilontarkan. Kata-kata adalah cerminan qalbu. Sementara perbuatan adalah pengejawantahannya. Karena sesungguhnya jiwa dan raga itu (masih) satu.

Masih optimis? Tentu. Harus itu. Walaupun pada kenyataannya, sedikit cuap-cuap dalam artikel ini belum tentu shahih. Apalagi penulisnya yang sudah pasti masih jauh sekali dari definisi “baik”. Mungkin salah. Mungkin terlalu menggeneralisir. Namun yang utama adalah tetap yakin bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang benar-benar baik. Yang bisa menjaga lisannya agar senantiasa selaras dengan action-nya. Atau setidaknya, berusaha menjadi orang yang lebih baik dari waktu ke waktu. Tinggal kita sendiri yang mau ikut memperbaiki, atau justru membebani.

Tidak perlu ngomong yang terlalu baik demi pencitraan. Apalagi yang kelewat buruk demi kepuasan. Kita usahakan yang proporsional saja. Apa adanya, bukan ada apanya. Tidak tahu tidak mengapa. Justru budayakan malu ketika sok tahu. Tetaplah hati-hati, teliti, dan introspeksi. Karena omongan itu dalam beberapa kasus bisa saja menjadi doa yang ijabah.

Wallahualam…

Itu…

15 thoughts on “Satunya Kata dan Perbuatan

  1. Setuju, Mas Andik. Yang terjadi saat ini membuat miris, tapi kita tetap harus optimis.

    Cuma ada yang agak ambigu di sini Mas: Tidaklah seorang hamba menjadi kufur kecuali mengakui kemahaanNya secara lisan dan di dalam hati. Negasi ketemu pengecualian jadinya positif, takutnya kalimat ini tidak sesuai dengan maksud Mas Andik saat menuliskannya :).

    Liked by 1 person

  2. pembukaan bikin ngakak : Bukan pula dalam hal merangkai kata-katanya. Percayalah, saya mungkin bukan pujangga, saya mungkin tak selalu ada, ini diriku apa adanya. #lah #skip #jebakanumur

    pertengahan : penuh makna dan sepakat

    dipenutupan : kembali ngakak : Itu… *pak mario mode on

    suwun mas postingannya 🙂

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.