membandingkan menandingkan menyandingkan compare you vs me

Membandingkan, Menandingkan, dan Menyandingkan


Bismillah

​Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Membandingkan apa yang benar dari diri sendiri dengan apa yang salah dari diri orang lain. Menandingkan ego pribadi yang pasti suci dengan ego kalian yang seolah sudah pasti berlawanan.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Membandingkan apa yang ada di kepala dan nafsumu dengan pikiran orang-orang yang tidak satu selera denganmu. Menandingkan prinsip pemikiranmu dengan celah remeh orang lain yang cenderung salah.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Kau selalu menggaungkan keterbukaan juga serba menerima masukan dan kritikan. Tapi sebenarnya tidak satupun kata orang kau hiraukan, sebagaimana layaknya kau nyatakan dirimu sendiri lah yang paling beriman.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Kau selalu mengatakan tidak memihak siapa-siapa dengan balutan kata-kata manis bak mutiara. Tapi sayangnya kau lupa, hampir setiap adagium yang kau lontarkan, selalu saja menyakiti pihak di sebelah sana.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Aktivitas ngaji, ilmu hakikat tingkat tinggi, dan klaim sertifikat tahan uji, kau saji. Namun mungkin kau tidak ingat berapa banyak amal orang tergelincir, hanya karena terselip secuil kesombongan di hati.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Nasionalisme, toleransi, dan kebhinnekaan terus saja kau suarakan. Namun di satu sisi, isu mayoritas minoritas tetap saja kau munculkan. Tak peduli pagar orang kau terjang, kavling sendiri pun kau campur adukkan.

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Pancasila adalah sesuatu yang sakral dan paling pas dengan pemahamanmu. Ketuhanan yang Maha Esa, yang menaungi kehidupan berketuhanan dan beragama di negara ini kau benturkan dengan opini “semua agama itu sama“. Jikalau begitu adanya, masih perlukah ada agama? Kemanusiaan yang adil dan beradab, kau elu-elukan dengan semboyan “berkata kasar tidak apa-apa, yang penting tidak korupsi“. Jikalau begitu adanya, di mana adilmu dan adabmu? Persatuan Indonesia, begitu membahana kau mengingatnya, sampai-sampai semua yang tak sepaham kau cap “intoleran“. Jikalau begitu adanya, siapa kiranya yang memecah belah persatuan? Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, kau setuju tanpa komentar, hingga kau merasa hanya golonganmu lah yang pantas menduduki “kasta tertinggi” di negeri ini. Jikalau begitu adanya, di mana letak kebijaksanaanmu? Keadilan sosial, justru kau yang gencar bersosialita dengan pernyataan, “kalau mau kaya ya bekerja, jangan manja“, tapi di luar sana banyak yang bangun pagi mencari sesuap nasi dari cangkulan hasil bumi yang kini tak lagi memadai karena makin sulitnya kondisi ekonomi. Sangat kontras dengan gedung-gedung bertingkat yang kau kuasai dan rumah-rumah mewah yang kau tinggali. Jikalau begitu adanya, bagaimana sebenarnya kehidupan sosial yang baik menurut definisimu?

Penyakit itu bernama membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan. Di pergumulan dunia maya kau begitu antusias membandingkan dan menandingkan. Di dunia nyata pun tidak berkurang, hanya manifestasinya yang sedikit berbeda. Capek kan ya? Memang begitulah adanya. Berlelah-lelah mencari pengakuan di dunia dengan membandingkan dan menandingkan memang tidak ada gunanya. Daripada membandingkan dan menandingkan, mungkin akan lebih baik jika kau berupaya untuk menyandingkan.

Pesan ini kutulis untukmu, wahai jiwaku yang sedang lelah di ujung belenggu kehidupan dunia yang berbatas waktu.

membandingkan menandingkan menyandingkan compare you vs me

31 thoughts on “Membandingkan, Menandingkan, dan Menyandingkan

  1. Penyakit ini sebenarnya di jaman modern dikembangbiakkan sama Amerika, budaya rekor, awards, the best, the most, etc2 sangat kental dari mereka, lagi pula manusia modern kan yang sudah saling teralienasi karna sibuk mencari pengakuan dari society

    Liked by 2 people

    1. Sepakat Mas. Apa cuman saya saja ya yang merasakan semakin ke sini kehidupan sosial itu, terutama di kota-kota besar, kok rasanya semakin menuntut banyak persaingan antar individu dan golongan? Apa ga sebaiknya saling bersinergi gitu ya?

      Btw, istilahnya keren Mas, “teralienasi”. 😀

      Like

      1. Itu kan alamiah, natural selection, manusia modern itu kan hidup di jaman yg sudah spesialis, tanpa sadar sebenernya kita hidup saling bersinergi, mengerjakan satu spesifikasi tertentu yg bikin kehidupan modern tetap berjalan

        Liked by 1 person

      1. Karakter bangsa : hidup berdampingan tanpa perlu memikirkan pengakuan. Karna sebenarnya apapun strata sosialnya, budayanya, keyakinan agamanya dlsb. Kita adalah tetap indonesia. Buka amerika dan tak akan mungkin bisa menjadi seperti amerika. Ga penting juga bisa jadi seperti amerika, karna sebenarnya SDA kita sudah melampaui mereka.

        Cara instan yg buruk : tak perlu dijelaskan, kita sudah pasti tau realita lapangan seperti apa, Mekanismenya bagaimana, lalu elektabilitas kerjanya bisa dipertanggungjawabkan tidak. Jika tetap ngeyel pengin tau mungkin bisa saya ilustrasikan sebagai : bandar sabu, tukang korup birokrat busuk yang masih suka pungli, dlsb. Yang selalu membabu pada mainstream dan ingin mendapat prestige tinggi dalam golonganya.

        Liked by 1 person

      2. Saya cuma menjelaskan mengenai bagaimana membandingkan2kan itu menjadi budaya kenian atau bahkan lumrah, itu terjadi diberbagai belahan dunia dan bukan soal bangsa lagi, bukan soal niru dll.
        Oh mungkin yg anda maksud Populisms, kalo politik atau pemerintah itu harus punya semacam image yg baik, dan itu perlu dibentuk dengan komunikasi yg baik, karna memang susah kalo pemerintah approval ratingnya rendah.

        Like

      3. Maka dari itu sebuah kemakluman yang seharusnya tak perlu dimaklumi harus segera ditinggalkan. Karna jika semua umat berpandangan seperti km bisa berabe satu negara, efeknya bisa merebah dan menjadi mainstream baru yang akan terasa basi banget sebenarnya. Sejak ordebaru runtuh sudah berapa juta umat yang menjadi korban sebuah kemakluman karna kebijakan pemerintahan kala itu, saat nepotisme & fanatisme seolah menjadi hal yg lumrah dijamanya.

        Like

      4. Semua umat? Ya setiap saat memang akan ada ‘the new normal’ meski pun kita sebenarnya ada dalam proses perubahan yang konstan dan terus menerus. Basi?

        Hati2 bicara soal orde baru, kurang adil rasanya menyalahkan orba saja soal praktik KKN, lagi pula kan ini dua hal yang berbeda, yang satu adalah kondisi yang dipaksakan sedangkan yang lainnya tumbuh begitu saja, saya tidak mengerti fanatisme macam apa yg anda maksud.

        Like

      5. Hahaha, anda seolah ahli sejarah saja, saya jadi penasaran sejauh apa pengetahuan anda soal sejarah, tapi yaudah, toh sekarang ini sejarah tinggal tanya mbah Google atau tante Wikipedia kan

        Kalo anda bawa fakta sejarah saya siap meladeni, tapi dari tadi nampaknya komen anda jauh panggang dari api.

        Saya juga bertanya bukan tidak tau, tapi penasaran apa sih yang anda maksud sebenarnya dengan istilah atau label ini dan itu.

        Like

      6. Heheee, santai saja. Kita demokrasi. Yang perlu di ingat negeri ini timur jangan dibarat baratkan, makan singkong asal direbus dulu bisa kenyang dan sehat ko. Ga harus pizza.

        Beda pembelajaran akan beda juga penjabaran, jika sudah terbiasa bersetubuh dengan realitas mungkin akan malas walaupun sekedar esek” dengan gugel.

        Like

    1. Ho oh… tanpa sadar diri ini benar-benar bebal. Pokoke aku sing paling bener dewe. Padahal kita tahu, orang kalau sudah merasa benar sendiri itu akan sulit berubah, terutama berubah ke arah yang lebih baik.

      Njeh, sama-sama ngaca saja. 😣

      Liked by 1 person

  2. Pilih menghayalkan & memimpikan. Sebab realita dunia selalu bertolak belakang dengan logika lantas mengedepankan kemakluman sebagai simbol maisntream yang sudah sangat basbang.

    Kira” jika Seluruh umat damai tentram tanpa pergejolakan akankah tetap ada kehidupan ? Saya kira sudah tamat peradaban.

    Liked by 1 person

  3. kalau mau membandingkan…. ya yg apple to apple 😀

    jangankan membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan dengan banyak orang, membanding-bandingkan dan menanding-nandingkan kekasih dengan mantan aja bisa bikin repot 😀

    Liked by 1 person

    1. Itulah masalahnya bang. Tidak semua orang cukup bijak mencari padanan yg seimbang. Krn rata2 tujuannya ingin menang. Ga peduli apakah yg dibandingkan itu sekelas atau jauh di bawahnya. 😆

      Like

  4. Setuju sama postingan ini, Mas. Ini jadi self reminder buat aku juga. Sedih melihat keadaan sekarang. Bener Mas Andik, ada orang yg teriak toleransi tapi malah sikapnya gak mencerminkan itu. Byk orang yg gak punya kapasitas ikutan ngomong, mencampuri urusan agama orang lain yang bukan ranahnya, menuduh orang lain yang tidak sependapat dengannya intoleran, orang yang menjalankan perintah agama sendiri pun kadang dibilang intoleran. Banyak orang salah mengartikan toleransi, toleransi itu bukan mencampuradukkan agama atau menganggap semua agama sama, tapi toleransi itu menghormati keyakinan, menghargai perbedaan. Jadi cukuplah menjalankan keyakinan msg2, menghormati keyakinan orang lain, jangan mencampuri urusan agama lain, di situlah letak kita menghargai perbedaan. Entahlah, isu agama belakangan ini makin hangat saja. Ya mungkin itu tadi orang2 sekarang banyak yg bicara tanpa filter, sukanya menandingkan dan membandingkan. Ah sudahlah, ayo kita koreksi diri masing2. #maafcommentkepanjangan

    Liked by 1 person

    1. Hehe… gpp panjang juga. Justru saya terima kasih udah repot-repot ngasih komen panjang di postingan yang ala kadarnya ini. Bener.. semua berawal dari diri sendiri kok. Urusan orang lain mah bukan kavling kita. 🙂

      Like

  5. Bener banget mas, semoga kita bisa refleksi ke diri sendiri, tidak semua yang kita anggap benar itu benar di mata orang lain. Pendapat itu pasti bakal ada yg beda, dan perbedaan itu yg mengajarkan kita untuk saling menghargai, bukan saling sikut menyikut dan menjatuhkan.. Akibatnya, kita tidak sengaja bermain di ranah orang lain, menyakiti perasaan org lain, dan kalau sudah begitu.. entahlah Mas.

    Liked by 1 person

    1. Sepakat Mas. Intinya mah kontrol diri sendiri dulu. Urusan orang lain kita sama sekali ga berhak sebenernya. Kecuali kalau memang orang tsb sudah jelas-jelas berbuat kejahatan di depan kita. Itupun tetep ada koridor hukumnya yang sebaiknya kita taati.

      Liked by 1 person

  6. Manusiawi sekali membandingkan itu. Bukankah kita ini ada unsur malaikat, ada unsur setannya. Hanya hati dan akal sehatlah yang jadi pembeda. Dengan banyak bersyukur pada Tuhan, hati dan akal akan memberikan pilihan terbaik.

    Intermezo : ada bandingan yang seru baru saja kita lihat. Seorang bupati yang getol bicara korupsi ditangkap tangan karena korupsi, hahaha…

    Liked by 1 person

  7. Tulisan yang bisa dijadikan bahan perenungan. Tapi mungkin, memang inilah masanya, ketika perang pemikiran tak kalah panas dengan perang bersenjata.

    Membandingkan, menandingkan, menyandingkan, dan apapun itu sebaiknya tetap didasarkan pada pegangan yang ‘telah jelas kebenarannya’. Imho 🙂

    Nice article mas Andik 🙂

    Liked by 1 person

    1. Makasih bos sebelumnya. Hehe. Siyap. Sepakat bos. Semuanya sepantasnya memang harus dikembalikan pada pegangan yang “telah jelas kebenarannya”. Karena kalau menggunakan logika kita masing-masing, akan jadi sangat bias dan beragam standar. Tapi yaa begitulah dinamika kehidupan. 🙂

      Liked by 1 person

Leave a reply to Andik Taufiq Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.