Bismillah…
Percaya atau tidak, kita ini hidup dalam tingkatan-tingkatan. Maksudnya bagaimana? Ambil contoh terkait pendidikan formal saja. Sekitar umur 4-5 tahun, kita sudah dimasukkan oleh orangtua ke dalam institusi pendidikan formal dari tingkatan paling rendah. Sebut saja TK atau SD. Lalu melalui serangkaian proses belajar mengajar, ujian hingga kelulusan, kita naik ke tingkat selanjutnya yang lebih tinggi. Katakanlah SMP. Kemudian lanjut SMA. Begitu seterusnya hingga mencapai tingkatan tertinggi, misal kuliah hingga S3. Asal jangan sampai S4 saja (sok seura seuri sorangan). **orang Sunda pasti apal 😀
Begitu juga di bidang-bidang kehidupan kita yang lain. Semua ada tingkatan-tingkatannya. Dan itu pasti berangkat dari tingkatan yang paling rendah, lalu berproses naik ke tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai tingkatan tertinggi. Begitu memang sunnahnya. Jadi, tidak ada orang yang langsung jebret mendadak kaya raya. Kecuali mendapat botol yang kemarin itu. Tidak ada juga yang ujug-ujug langsung jadi pinter. Kecuali mungkin orang yang minum jamu reject the wind. Pun mustahil juga ada orang yang mak bedunduk jadi terkenal karena karyanya yang luar biasa tanpa melalui serangkaian proses tingkatan demi tingkatan. Semua ada prosesnya. Kalaupun nampak tiba-tiba, itu karena kita tidak tahu menahu saja proses di belakangnya.
Sedangkan kita tahu, Sang Pencipta telah mengajari kita tentang arti sebuah proses. Tentang bagaimana bumi diciptakan dalam enam masa hingga terbentuk bumi yang luar biasa seperti saat ini. Tentang bagaimana proses-proses pertumbuhan janin dari segumpal darah hingga menjadi daging dan tulang belulang lengkap bersama ruh yang ditiupkan bersamanya. Atau, tentang bagaimana anjuran istiqomah dalam beramal walaupun kecil yang jauh lebih penting ketimbang banyaknya hasil akhir namun jarang dilakukan. Sabar… semua ada tingkatan-tingkatannya.
Begitu juga dalam hal pemahaman ilmu atas ibadah-ibadah ritual agama. Bab sholat ada tingkatan-tingkatannya. Sholat wajib lima waktu itu tingkatan paling mendasar. Tingkatan tertingginya adalah tahajjud dan istikharah. Jangan terlalu berharap bisa merasakan nikmatnya sholat tahajjud kalau sholat lima waktunya saja belum benar. Bab puasa juga ada tingkatan-tingkatannya. Puasa Ramadhan dengan menahan tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan biologis itu tingkatan paling mendasar. Tingkatan tertingginya adalah shaumil khususil khusus, yaitu menjaga keseluruhan hati dan raga dari hal-hal yang memalingkan diri dari Tuhannya. Jangan terlalu berharap langsung bisa menjadi orang bertakwa yang ditinggikan derajatnya kalau puasa yang paling mendasar saja tidak dilakukan dengan baik. Begitu pula bab munakahat. Tingkatan paling mendasar adalah perintah nikah untuk menyempurnakan separuh agama. Tingkatan tertingginya adalah… **uhuk-uhuk mendadak keselek #bukankode
Dan ka Andik selalu menutup renungan dengan guyonan ringan, saya sukak haha. *nyodorin air haha
LikeLiked by 1 person
Alhamdulillah.. Terima kasih mba Risa… **bismillah, sambil minum seteguk air
LikeLiked by 1 person
uhuk-uhuk di bagian akhir itu point dari semua ulasan tulisan 😀
LikeLiked by 1 person
😀
LikeLike
Wah kalo saya tingkatan tertinggi dalam sholat adalah sholat 5 waktu bang…
Untuk tahajud dan sholat Sunnah lainnya masih dipenuhi hajat atau keinginan manusia…
Sedangkan sholat 5 waktu bagi sebagian orang merupakan tempat menghadap hambanya ke Tuhannya…
LikeLiked by 1 person
Tenang tenang… ini yg nulis juga masih begitu kok, sama saja… postingan ini cuman gaya-gayaan aja 😀 harapannya semoga bisa terpacu dgn tulisan sendiri… syukur-syukur yg mbaca juga ikutan termotivasi…
LikeLiked by 1 person
Tingkatan yg tertinggi itu apa ya? Kalo uhuk uhuk uhuk nya ilang itu bakal jd apa, Cinta ga ngrti? Tolong dijawab mas Andik, sebagai penulisnya, anda hrs brtanggungjwab ya, jangan membuat kebingungan di sana-sini 😁😛
LikeLiked by 1 person
Saya persilakan pembaca untuk menginterpretasikan sendiri… hehehe.
LikeLike
ora mudeng mas ^__^> *sambil garuk-garuk kelapa eh kepala.
Ayooo jelasin *maksa
LikeLiked by 1 person
hahaha.. **uhuk-uhuk mendadak keselek
*Ikutan mikir juga__^
LikeLiked by 2 people
Itu lho… seni melipat kertas dari Jepang **lebih maksa
LikeLike
Ahaha, nah lho koq jadi origami? Gimana bisa origami jadi tingkatan tertinggi?
Ah, Cinta makin ga ngrti. Ayo jelasin lagi, Mutia tolongin ka Cinta ya.
si Mutia lgsg narik2 kemeja mas Andik. *ayo mas Andik jelasin ke ka Cinta 😛
LikeLiked by 1 person
Buka google, cari dgn kata kunci “level tertinggi pernikahan”. Kelar udah.
LikeLike
Ok mas Andik, terimakasih atas penjelasannya. 😊
LikeLiked by 1 person
Siyap…
LikeLike
pada tingkat ke berapa sekarang kita ?
LikeLiked by 1 person
Tingkat ke berapa itu tidaklah begitu penting, yang penting adalah apa yang menjadi objek pembahasan. Kalau semakin tinggi tingkat kemiskinan kan repot. Hehe…
LikeLiked by 1 person
hahaha…
kalimat terakhirnya itu lho….
*lempar mijon dari terminal*
LikeLiked by 1 person
Hehehe… ampun mbak. Boleh minta yg pokari aja ga? 😀
LikeLike
saya menyebutnya anak tangga kehidupan, mas.
https://jampang.wordpress.com/2013/06/27/anak-tangga-kehidupan/
LikeLiked by 1 person
Wah, hampir sama analoginya ya Bang.
LikeLike
ya kurang lebih 😀
LikeLiked by 1 person
Tingkatan paling mendasar…… mendasar ya?
Ngomong-ngomong, artinya ‘sok seura seuri sorangan’ apa Kak? Googling nggak nemu, nemunya malah artikel-artikel yang bahasa Sunda
LikeLiked by 1 person
Sok seura seuri sorangan = Suka ketawa ketiwi sendiri
😀
LikeLike
Berarti kalo saya baca postingan ini sambil seura seuri sorangan atuh abdi jigana geus s4 sekarang ya? :)))))))))
LikeLiked by 1 person
Hehehe… bukan saya lho yg bilang. 😀
LikeLiked by 1 person
Juga, fleksibel? Seperti ketika sudah sampai pada tingkatan lanjutan, kita masih bisa kembali ke tingkatan sebelumnya untuk memperbaiki mana yang belum dilakukan secara benar.
Seperti perihal mengaji dan mengkaji (terdeterminasi)
LikeLiked by 1 person
Oh iya, betul juga. Bisa fleksibel juga. Dan kadar tingkatan masing-masing orang juga berbeda-beda. Bergantung standar pencapaian dan peran yg dianugerahkan kepadanya. 🙂
LikeLiked by 1 person
Ah iya, setiap manusia punya tingkatannya tersendiri. 😉
LikeLiked by 1 person
Ternyata ujungnya itu ya intinya hehe
LikeLiked by 1 person
Itu apa mas? Hehe…
Jangan disebut di sini ya… wkwkwk
LikeLike
Mau nanya, Eyang Subur dengan 8 istri sudah tingkatan super tertinggi berarti, ya? *Sok seura seuri sorangan*
LikeLiked by 1 person
Wah, maaf mas Alris. Komennya masuk ke SPAM. Hehehehe… kalau itu persepsinya sungguh “terlalu” kalau kata Bang Rhoma. 😀
LikeLike
jadi andik kepengen nikah nih? hahaha mau ngomong ini aja muter2 dulu ceritanya, salam kenal dari pink ya
LikeLiked by 1 person
Hehehe… Kalo ga muter-muter postingannya kurang panjang Mbak.
Siyap, salam kenal. 😀
LikeLiked by 1 person
Hidup yang berproses nih Mas, tanpa mengenal kata ujug-ujug alias instant ya. selamat menikmati tangga kehidupan. Salam
LikeLiked by 1 person
Betul. Karena memang ga ada ceritanya hidup ga pake berproses. Sedangkan hidup itu sendiri adalah serangkaian proses. Terima kasih mba Prih, salam kenal. 🙂
LikeLike
Cuma realitas sekarang terbalik (mungkin) berangkat dari keenakan dan berakhir dgn kemenye-menyean. Setidaknya itu yg sering ak tangkap dr realitas selama berempati dengan berbagai macam strata sosial di beberapa titik bumi indonesia mas..
^____^
LikeLiked by 1 person