permukiman kumuh miskin pendidikan rendah

Adakah Hubungan Antara Permukiman Kumuh, Kemiskinan, dan Rendahnya Tingkat Pendidikan?


Bismillah…

Nampaknya, kecenderungan opini umum akan selalu menjawab, “ada” untuk pertanyaan di atas. Tidak perlu penelitian yang menghabiskan anggaran jutaan rupiah. Dilihat secara kasat mata pun sudah cukup nampak. Bahkan hubungan ketiganya sepertinya sudah masuk logika dasar kebanyakan orang yang mengatakan bahwa, orang miskin di kota, pasti tinggalnya di area permukiman kumuh atau yang setara dengan itu, dan sudah pasti rata-rata tingkat pendidikannya rendah karena jelas tidak mempunyai akses biaya yang memadai untuk bersekolah. Atau bisa juga begini, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh, dapat dipastikan kalau mereka itu miskin secara ekonomi. Pun juga tingkat pendidikannya pasti rendah. Mau dibolak-balik kayak gimana juga ketiganya tetap berhubungan dan saling memicu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Dalam istilah “medis”nya, kita sering menyebutnya sebagai “lingkaran setan — dua masalah cukup, tiga sempurna”.

Sedikit intermezzo:
Sebenarnya dari dulu saya ingin menuliskan tentang hal ini. Tapi memang belum sreg saja nulisnya. Sekarang mau coba diulas satu per satu walaupun mungkin belum tahu apakah sudah cukup menjabarkan apa yang selama ini mengganjal di pikiran atau belum. Btw, ini ga ada sangkut pautnya dengan berita penggusuran dan reklamasi yang kemaren sempat jadi trending topic itu ya. Bukan. Kebetulan pas saja momennya.

OK, kembali ke persoalan permukiman kumuh, kemiskinan, dan tingkat pendidikan yang rendah. Mau dikatakan apalagi, ya memang erat hubungannya. Eratnya dimana? Ya menyangkut banyak hal. Kalau dirunut terus menerus mungkin ga akan habis pembahasannya. Karena memang ruwet, ada sebagian yang menjadi pre-requisite persoalan yang lainnya, ada pula yang bersifat siklis, melingkar, tidak tahu lagi yang mana yang musti dipotong duluan. Daripada mumet mending kita ilustrasikan saja. Yang simpel mulai dari sebagian kecil contoh sehari-hari saja. Bukan apa-apa, kayaknya otak saya ga nyampe kalau mbahas yang berat-berat. Hehehe

permukiman kumuh miskin pendidikan rendah

  • Lingkungan yang Padat
  • Kalau sebagian orang masih masih memperdebatkan perihal model rumahnya yang tipe 36 lah, tipe 40 lah, tipe 70 lah, dst. Atau obrolan tentang beberapa inspirasi desain rumah idaman yang lagi banyak-banyaknya di-share di media sosial. Maka bahasan-bahasan semacam itu sama sekali tidak ada di kamus sebagian besar orang “KuMis MeWah” — singkatan yang saya gunakan untuk mengelompokkan orang-orang yang tinggal di permukiman kumuh, masyarakat kelas miskin, dan golongan menengah ke bawah. Boro-boro mikirin denah tipe rumah. Lha wong ukuran rumahnya saja rata-rata hanya 3×4 meter. Bahkan masih banyak yang di bawah itu. Mau dimodel kayak gimana lagi. Ya mentok-mentoknya hanya bisa dimaksimalkan dengan penggunaan dipan 2 tingkat agar cukup buat tidur seluruh anggota keluarga.

    Soal akses jalan jangan ditanya. Gang-gang kecil yang cukup 1 atau 2 motor berjejeran? Itu masih sangat sangat mending. Kenyataannya, tidak sedikit yang aksesnya lebih parah dari itu. Akses keluar masuk yang hanya berupa lorong-lorong sempit. Hanya cukup satu orang jalan. Itu pun harus miring kalau pas berpapasan dengan orang lain. Kalau di Jawa Timur sering diistilahkan sebagai “lompongan“. Kalau di Jakarta dan sekitarnya mungkin lebih dikenal sebagai gang tikus. Gelap. Lembab. Kadang bau kotoran kucing. Ada yang bagian dari areanya selokan. Ada yang diapit 2 tembok gedung yang sangat tinggi. Ada juga yang dihiasi jemuran orang. Jemuran baju bersih atau daleman mungkin masih manusiawi. Yang agak parah itu kalau pas ketemu jemuran kain gombal yang bau busuknya bukan main. Pernah tahu bau peceren atau air selokan yang sudah lama menggenang? Ya seperti itulah kira-kira.

    Ga usah jauh-jauh membahas soal ghibah di lingkungan KuMis MeWah. Tanpa bertatap muka dan ngobrol satu sama lain pun gosip sudah dipastikan bisa cepat menyebar. Jangankan ribut masalah internal keluarga. Ada tetangga buang angin pun terdengar jelas. Karena dinding pembatas antar rumah yang kondisinya memang dempet-dempet dan rapet biasanya hanya berupa triplek atau gedhek (dinding dari anyaman bambu). Mungkin baru sekarang-sekarang saja sudah mulai banyak yang beralih ke tembok berbahan bata. Tapi itupun belum semua. Kebayang kan, bagaimana sulitnya menjaga privasi di lingkungan yang seperti ini. Terlebih lagi bagi perempuan. Mengenakan hijab? Percayalah, pengetahuan itu sudah ada di sebagian orang, tapi kebanyakan sikonnya yang tidak memungkinkan. Jangan bayangkan setiap rumah ada banyak kamar-kamarnya. Bahkan satu rumah itu itungannya lebih sempit daripada luas kamar Anda. Dan jangan bayangkan kalau kesehariannya pintu selalu bisa tertutup rapat selayaknya rumah-rumah yang ada di cluster-cluster mewah seperti model perumahan zaman sekarang. Bisa digunjing tetangga ntar. Karena kebiasaan orang yang tinggal di lingkungan seperti ini sebisa mungkin membiarkan pintu selalu terbuka. Biar kalau ketemu ngobrolnya enak. Akan janggal rasanya kalau sampai ada pintu yang ditutup sebelum jam 10 malam, dan baru dibuka pas siang bolong. Kecuali memang penghuninya sedang keluar rumah.

  • Sanitasi yang Buruk
  • Luas rumah yang berukuran ala kadarnya. Halaman yang sebaiknya jangan diharapkan ada. Teras yang hanya formalitas saja. Dan jangan bermimpi tersedia kebutuhan sanitasi yang paling mendasar, yaitu MCK (mandi, cuci, kakus). Dengan lahan yang begitu sempit coba bayangkan, mau bikin kamar mandi dimana? OK lah, kamar mandi mungkin masih bisa diakalin. Berukuran 1mx1m juga ga masalah. Lha septic-tank-nya? Yang mau digali sebelah mananya? Sekali lagi, percayalah, hal itu sudah ada di kepala sebagian orang yang tinggal di lingkungan KuMis MeWah. Tapi kembali lagi, sikon lah yang tidak memungkinkan untuk dibuat fasilitas sanitasi yang memadai.

    Solusinya, bikin kamar mandi umum dengan satu sumur, dan tempat buang air besar di pinggir sungai. Mungkin itu alasan awalnya mengapa banyak KuMis MeWah yang lokasinya berada tak jauh dari sungai atau sumber-sumber air mengalir yang lainnya. Karena akses airnya enak. Bikin sumur ga perlu khawatir tentang kedalamannya. Karena dapat dipastikan water table-nya dekat dengan permukaan tanah. Mau buang sampah rumah tangga, sampah industri, ataupun sampah masyarakat ya tinggal plung ke sungai. Beres. Masalah banjir atau pencemaran itu urusan nomer ke sekian. Apakah tidak ada sama sekali pemikiran tentang hal ini? Ada. Di sebagian orang yang tinggal di lingkungan seperti ini jelas ada. Tapi mau bagaimana lagi. Mau buang sampah di mana kalau ga ada yang mengurusnya hingga ke TPA. Mau buang air saja masa harus jalan-jalan dulu ke mall, lalu numpang beol di sana. Itu kan ga efisien.

    Oh iya, pernah merasakan ngantri mandi di kamar mandi umum? Keren lho. Ada interaksi sosial yang membuat orang-orang saling mengenal satu sama lain. Ngantri mandi di pagi dan sore hari adalah waktu yang tepat bagi orang-orang yang tinggal di kawasan KuMis MeWah untuk bisa bercengkerama, beramah tamah, ngobrol bola, hingga ngomong soal politik. Dan obrolannya pun bisa sangat dinamis. Karena yang datang ke situ bukan hanya yang ngantri mau mandi, melainkan ada juga yang menyikat baju, mencuci piring, membilas beras untuk dimasak, dan aktivitas-aktivitas lain yang berhubungan dengan kebutuhan air sumur. Bapak-bapak, ibu-ibu, muda-mudi, anak-anak, tumplek blek kalau pas lagi rame-ramenya. Begitu harmonis. Soal kehigienisan bak kamar mandi itu urusan belakangan. Makanya jangan heran kalau banyak yang menderita gatal-gatal karena air mandinya bercampur dengan semua orang. Belum lagi kalau ada yang sedikit jorok, setiap habis mandi selalu meninggalkan bekas air yang sudah tercampur sabun. Semacam ada buliran-buliran putih berbusa gitu. Subhanallah lah pokoknya.

    Trus barangkali ada yang pernah melihat jamban di pinggir sungai. Yang suka ada sekat penutup berbentuk kotak di sekelilingnya biar tidak keliatan orang. Posisinya tinggi sejajar dengan permukaan tanggul atau sisi sungainya. Yang kalau momennya pas, bisa terlihat proses ngebomnya yang aduhai. Itu baru 1 dari sekian model jamban pinggir sungai yang paling populer. Di beberapa kawasan KuMis MeWah yang tanggul sungainya sudah bagus, yang sudah menggunakan cor-coran + batu kali. Model jamban yang mungkin lebih dominan adalah jamban yang terbuat dari semen. Bentuknya berundak-undak dari atas sampai ke bawah dengan ketinggian tertentu. Jadi posisi jongkoknya bisa disesuaikan dengan tingginya permukaan air sungai. Ada juga yang hanya terbuat dari kayu atau bambu yang dirangkai seperti anak tangga. Fungsinya sama dengan yang terbuat dari semen, tapi biaya pembuatannya jauh lebih murah, dan biasanya ada di kawasan yang tanggul sungainya masih berupa tanah dan batu. Tapi jangan bayangkan setiap anak tangganya steril ya. Semakin ke bawah semakin parah. Yaa… gpp, namanya juga ada proses gravitasi dan sedikit gesekan angin yang mempengaruhinya. Arah jatuhnya bom tidak selalu tepat sasaran bukan. Oh iya, biasanya yang model seperti ini ga ada tutupnya. Jadi bener-bener keliatan orang, terutama dari seberang sungai. Jangan khawatir jatuh, kalau yang bikin pinter biasanya disediakan pegangan juga kok. Tapi ya itu tadi, ga ada jaminan kalau pegangannya steril dari bekas bom. Oh ya, bom-bom itu ada sebutan familiar lainnya, yaitu pisang goreng yang mengapung.

    Nah, kalau sudah selesai ceboknya dimana? Tentu saja cara paling simpel adalah langsung menggunakan air sungai. Bisa dibayangkan jernihnya seperti apa air sungai perkotaan yang hitam lekam itu. Tapi… tidak semua orang seperti itu. Ada sebagian orang yang standarnya lebih bersih. Caranya bagaimana? Sehabis BAB, langsung saja jalan kaki ke arah kamar mandi umum. Cebok di situ. Lebih bersih airnya. Terus jalannya bagaimana? Bekas kotorannya gimana? Nempel kemana-mana dong? Sudah, tarik celana dan jalan kaki seperti biasa saja. Percayalah, yang terkesan jorok itu hanya ada di bayangan Anda saja. Case closed.

    permukiman kumuh miskin pendidikan rendah

  • Turun Temurun
  • Kira-kira mengapa kok lingkungan KuMis MeWah sampai padet banget? Ya karena kehidupan yang ada di situ terus berkembang secara turun temurun. Pada awalnya mungkin lahan tempat tinggalnya luas. Tapi seiring berjalannya waktu, anak-anak, cucu-cucu, cicit-cicit tumbuh dan berkembang. Dan ciloko-nya, mereka semua masih tinggal di situ-situ saja. Jadilah rumah yang tadinya luas, disekat-sekat sampai sempitnya ga ketulungan.

    Kok ga ada yang pergi merantau, atau pindah lokasi tempat tinggal, atau mungkin berkelana seperti katanya bang Rhoma? Percayalah, sudah ada beberapa yang memutuskan demikian. Tapi yang masih menetap memang lebih banyak jumlahnya. Dan semakin bertambah banyak lagi kalau ada yang menikah trus si pasangannya ikut tinggal di situ juga. Mau bagaimana lagi, penghasilan pas-pasan. Mencari tempat tinggal di daerah lain juga ga gampang dan butuh modal besar. Terlebih lagi harga properti sudah ga masuk akal sama sekali. Muahalnya seakan ga mungkin terbayarkan seumur hidup hanya dengan bermodal penghasilan rata-rata orang KuMis MeWah zaman sekarang. Kalau memang harus ada yang disalahkan dari munculnya lingkungan kumuh, coba kita telaah berapa harga tanah / rumah saat ini dan beberapa tahun mendatang.

  • Sertifikat Tanah?
  • Salah satu kelemahan yang “katanya” seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung-jawab adalah tingkat kepedulian yang rendah dari orang-orang KuMis MeWah terhadap surat menyurat sertifikat tanah dan bangunan. Karena turun temurun, biasanya masih berstatus girik atau kepemilikan adat. Yang mana kita tahu, jenis kepemilikan yang seperti ini bukanlah sertifikat kepemilikan resmi yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Girik hanya menandakan penguasaan seseorang terhadap sebidang lahan. Kekuatan hukumnya sangat lemah. Apalagi sudah berpuluh-puluh bahkan ada yang lebih dari 100 tahun sebagai warisan dari kakek, nenek, buyut, canggah, dst. Tentu saja mengurusnya menjadi sertifikat resmi tidaklah mudah. Apalagi dalam satu bidang tanah sudah ditempati berpuluh kepala keluarga. Kok ga dipisah-pisah sertifikatnya? Ya itulah, belum nyampe tingkat awareness-nya. Sehingga jangan heran kalau banyak mafia-mafia pertanahan spesialis kawasan KuMis MeWah. Karena memang dari sononya sudah rentan sengketa. Dan pada kenyataannya, tidak sedikit sertifikat-sertifikat itu yang HILANG tanpa jejak. Kemana? Kok bisa? Entahlah, yang jelas bisa benar-benar hilang.

  • Sekolah, Buat Apa?
  • Kalau ada yang bertanya, apa saja profesi yang digeluti oleh orang-orang di kawasan KuMis MeWah? Jawabannya macam-macam. Tapi dapat dipastikan bahwa tidak ada yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kalaupun ada, biasanya setingkat pegawai kelurahan, guru SD negeri, atau mungkin beberapa orang yang sudah pensiun sekian tahun ke belakang. Karena bagi kebanyakan orang di lingkungan ini, PNS adalah strata tertinggi dalam tatanan masyarakat. PNS dianggap sebagai kumpulan orang-orang terhormat dengan gaji yang PASTI dan jaminan masa tua yang OK. Lalu, pekerjaannya apa dong? Ya sebutkan saja segala jenis profesi kelas bawah yang bersifat padat karya. Pasti ada. Dari buruh harian lepas sampai buruh pabrik, ada. Dari cleaning service hingga pemulung, ada. Kuli bangunan, kuli panggul, kuli serabutan, banyak. Pesuruh dan pembantu rumah tangga, tidak sedikit. Tukang becak, tukang ojek, tukang ledeng, tukang reparasi TV, sampai tukang servis panci berlubang, juga ada. Hansip acara tahunan, bang kredit pinjaman harian, penjaja kaki lima, kasir Indomar*t, polisi cepek, juga tidak ketinggalan. Bahkan anehnya, profesi-profesi yang dalam tanda kutip bersifat melanggar hukum, juga masih wajar disebut profesi. Contohnya, preman pasar, bandar togel, penadah barang bekas (entah dari curian atau nemu di jalan). Pokoknya segala aktivitas yang menghasilkan uang, pasti akan dijunjung sebagai profesi. Kebayang kan anak-anak sekolahnya ketika disuruh mengisi data pekerjaan orangtua? Bukan bukan. Mereka ga akan ngisi jenis-jenis profesi seperti yang saya sebutkan di atas kok. Pilihannya biasanya hanya ada 2: Negeri, atau Swasta. Sudah. Negeri mewakili PNS, swasta mewakili apa saja selain PNS.

    Bagaimana dengan halal atau haram? Percayalah, itu sudah ada di benak sebagian besar orang yang tinggal di kawasan KuMis MeWah. Tapi kembali lagi, tidak sedikit yang berdalih, “zaman sekarang, nyari yang haram saja dapatnya susah, apalagi yang halal”. Tapi yang luar biasa itu, masing-masing orang seakan bisa mendalami hobinya dengan sangat baik. Hobi yang mendatangkan duit adalah hobi yang paling digemari di lingkungan KuMis MeWah. Pernah lihat orang taruhan adu jangkrik? Yang sampai jangkrik jagoannya dikasih makan suplemen Hemavit*n dicampur kacang hijau rebus biar kuat? Percayalah, itu ada.

    Intinya adalah, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tujuannya hanya berprofesi seperti yang telah disebutkan di atas. Buat apa mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah kalau ujung-ujungnya hanya bertujuan untuk mencari uang. Sekali lagi, percayalah, mindset seperti ini masih ada.

    permukiman kumuh miskin pendidikan rendah

Jadi apa kesimpulannya? Mohon maaf saya belum bisa menyimpulkan apa-apa, karena semua ilustrasi di atas hanya didasari oleh pengalaman dan pengamatan semata. Rasanya tidak elok kalau digeneralisir bahwa orang-orang yang tinggal di permukiman kumuh, masyarakat miskin, dan golongan menengah ke bawah adalah orang-orang yang malas, tidak berpendidikan, dan hanya pantas disebut sampah masyarakat. Nyatanya tidak selalu seperti itu. Masih ada sebagian yang bisa menempuh pendidikan perguruan tinggi, bahkan ada juga yang sanggup ke luar negeri. Menjadi kaya di negeri orang. Justru kalau masih merasa sebangsa setanah air dan senasib sepenanggungan, harusnya hal-hal semacam ini otomatis menjadi tanggung jawab negara atau orang-orang yang merasa diberi “kelebihan” dibanding yang lain. Entah apakah melalui pendidikan, lapangan pekerjaan, atau fasilitas tempat tinggal layak huni yang diprioritaskan terlebih dahulu. Bukannya malah membuat buanyak sekolah-sekolah internasional yang biayanya selangit. Bukannya malah membangun apartemen-apartemen mewah yang ga mungkin terjangkau masyarakat berpenghasilan pas-pasan, apalagi yang miskin. Dan bukannya juga malah membanjiri kota-kota besar dengan pasar-pasar raksasa berlabel mall dan supermarket. Katanya negara Pancasila, yang mengusung Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Oh ya, ilustrasi di atas belum tentu persis seperti itu ya. Belum tentu sama juga antara satu daerah dengan daerah lain. Parameternya bisa berbeda-beda. Mungkin juga ada beberapa daerah yang sudah berkembang baik dan sudah tidak termasuk kawasan KuMis MeWah. Saya hanya berbagi pengalaman saja. Ga terlalu lama sih, cuman 15 tahun hidup di tengah-tengah lingkungan yang luar biasa seperti itu. Alhamdulillah.

Mohon maaf jika tulisannya terlalu panjang dan membosankan. Mohon maaf juga jika ada bagian-bagian yang terlalu vulgar untuk dibahas. Saya hanya berusaha menyampaikan apa adanya. Semoga bermanfaat!! Aamiin

14 thoughts on “Adakah Hubungan Antara Permukiman Kumuh, Kemiskinan, dan Rendahnya Tingkat Pendidikan?

  1. Ga ada yang perlu dimaafkan, memang itu mewakili lingkungan seperti itu.
    Semoga pemerintah dan mereka yg bisa berbuat lebih, menjadi terpanggil utk membantu mengurainya.

    Liked by 1 person

  2. dan kumis mewah itu rawan kebakaran. di tambora aja, menurut istri saya yang pernah kerja di daerah situ…. kalau bunyi sirine… main rteba-tebakan… ii RT berapa atau rw brapa yang dapat giliran 😦

    Liked by 1 person

  3. Haduh, agak gimana gtu ya kalau baca tentang adegan ngebom. Baru tau kalau sampek seperti itu.
    Tapi herannya kok mereka kayaknya kurang usaha untuk memperbaiki kualitas diri ya? Kebanyakan pasrah aja sama nasib..

    Liked by 1 person

    1. Maaf, agak terkesan jorok. Tapi memang begitulah keadaan sebenarnya. Dan maaf, saya masih merasa bagian dari orang-orang yang hidup di KuMis MeWah. Bukannya tidak mau memperbaiki kualitas diri. Tapi ilmu untuk ke arah situ masih sangat terbatas. Banyak yang wawasannya masih belum terbuka. Terlebih banyaknya tekanan dari lingkungan luar (menengah ke atas) yang diklaim memiliki kehidupan lebih baik. Padahal kalau kita runut, kehidupan lebih baik menurut siapa? Dan kalau kita pikir-pikir, kehidupan ekonomi yang lebih baik, belum tentu menjadikan kehidupan sosial yang lebih baik pula. Banyak buktinya, bisa dilihat kok di komplek-komplek perumahan elit. Kapan bersosialisasinya, sedangkan keluar rumah untuk berkunjung dan bercengkerama dengan tetangga saja jarang banget.

      Btw, terima kasih komentarnya. 🙂

      Liked by 1 person

      1. Waduh maaf. Bukan bermaksud hati untuk menyinggung atau seperti apa. Sekedar share juga sih, saya juga pernah bertanya2 pada yg hidup di kumis mewah, tapi terkadang ada penolakan dari mereka untuk contohnya belajar ke jenjang lebih tinggi atau seperti itu sudah.
        Iya memang semua ada positif negatifnya. Jangankan di daerah mewah, di lingkungan saya yang jauh dari mewahpun, rasa sosialnya sudah mulai terkikis.

        Trimakasih sudah mau share. Mohon maaf sebelumnya.

        Liked by 1 person

      2. Iya, betul. Memang begitu. Banyak penolakan, bahkan dari diri mereka sendiri. Karena ya itu tadi, rata-rata wawasannya kurang, entah karena pendidikan, atau tingkat ekonomi. Makanya saya bahas di sini. Hehehe… Santay2.. 😀

        Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.