menggali kubur sendiri

Menggali Kubur Sendiri


Bismillah…

Alhamdulillaah beberapa hari yang lalu saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari salah seorang guru. Ya sebenarnya bukan guru dalam arti harfiah sih. Setiap orang yang ngobrol dan berkenalan dengan saya biasanya otomatis akan saya anggap sebagai “guru” kalau memang memberikan insight menarik terkait bidang apapun. Terus terang sampai saat ini pun saya merasa belum bisa apa-apa. Merasa belum bisa memberikan value berharga apapun kepada keluarga, orangtua, agama, termasuk lingkungan sekitar tempat tinggal pun belum. Merasa belum sanggup memberikan manfaat apapun. Tidak ada spesialisasi khusus, tidak ada bidang tertentu yang saya dalami, bahkan passion saya pun boleh dibilang ala kadarnya. Master of none, the jack of all trades. Itulah mengapa setiap kali berbincang dengan orang, khususnya orang yang baru kenal, bisa jadi ada ketertarikan khusus perihal bagaimana cara pandangnya, seperti apa sikap hidupnya, apa visinya, dan muacem-macem. Siapa tahu, ada sisi-sisi ilmu yang bisa saya dapatkan dari interaksi tersebut. Siapa tahu, saya bisa menjadi manusia yang lebih “berguna”.

Dan kali ini hampir sama juga. Yang saya ajak ngobrol adalah bapak-bapak berusia sekitar 50 tahunan. Mirip seperti yang pernah saya ceritakan pada postingan ini. Sebut saja bapak X. Singkat cerita bapak X ini dulunya adalah seorang eksekutif yang sangat ambisius. Dedikasinya kepada pekerjaan sangat luar biasa. Dan idealismenya terhadap profesi sangatlah tinggi. Saking idealisnya, tidak ada toleransi sama sekali terhadap satu pun kesalahan anak buah dan rekanannya. Hampir tidak ada kompromi. Salah sedikit langsung potong gaji. Melanggar sedikit langsung pecat. Ga ada ampun sama sekali. Orangnya begitu tegas hingga banyak yang segan kepada beliau. Dan sangat wajar apabila karirnya melesat begitu tajam. Harta kekayaan pun sudah tidak lagi menjadi isu waktu itu. Rumah mewah sampai punya 3. Begitu pula mobilnya yang bejibun. Selalu ganti setiap tahunnya.

Di sini lain, ada pengorbanan yang harus beliau tebus. Hubungan sosialnya sama sekali tidak baik. Di pikiran beliau waktu itu yang ada hanyalah bisnis, uang, dan karir. Selebihnya nonsense. Termasuk nasib keluarga beliau yang juga ikut terkena imbasnya. Tidak tanggung-tanggung, dalam sebulan hanya tersedia 3 hari untuk tinggal di rumah bertemu dengan anak-anak dan istri. Selebihnya habis untuk perjalanan dinas ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Sehingga otomatis sangat minim berinteraksi dengan keluarga. Kalau diibaratkan, jumlah cadangan baju di lemari tempat kerja hampir sama banyaknya dengan yang ada di rumah, mungkin lebih.

Hingga suatu hari beliau “ditampar” oleh dua (2) kejadian yang tak diduga sebelumnya. Yang pertama, beliau terjerat kasus hukum yang sangat serius hingga hampir seluruh harta bendanya termasuk rumah, mobil, dan tabungan pun ludes hanya dalam selang waktu sebulan. Kejadian ini merupakan pukulan yang telak mengingat sebelum-sebelumnya beliau sudah merasa di atas segalanya. Materi tak jadi soal, dunia dalam genggaman, semua nampak bisa dibeli. Hingga kemudian beliau mengalami kejadian yang kedua, secara telak lagi, sopir pribadi beliau, satu-satunya orang terdekat yang sebelum-sebelumnya justru lebih banyak diam, tiba-tiba menyampaikan kalimat yang cukup mengena, “Bapak jangan begitu, baik-baiklah sama orang. Karena kalau kita mati, kita tidak akan bisa menggali kubur sendiri.” Itu adalah satu-satunya kalimat yang menjadi bekal beliau sampai sekarang. Setidaknya dengan kalimat itu beliau sekarang bisa lebih bersyukur, membangun segalanya dari nol, memulai kedekatan dengan anak-anak yang dulu sering ditinggalkannya, dan merintis hubungan baik dengan semua orang yang ditemui tanpa kecuali. Alhamdulillaah.

menggali kubur sendiri

Begitu mudahnya bagi Allah dalam menundukkan segala apa yang Dia kehendaki. Mau sombong silakan, mau takabur juga boleh, mau angkuh tidak dilarang. Asalkan kita tahu hanya cukup dengan doa satu orang saja yang teraniaya dengan sikap kita, maka saat itu juga doa itu langsung dikabulkan. Iya kalau doa yang baik-baik. Lha kalau tidak sengaja terucap yang afgan, bisa langsung bangkrut kita. Kecuali kalau memang berniat menggali kubur sendiri. Naudzubillaah.

13 thoughts on “Menggali Kubur Sendiri

    1. Nah. Betul, sepertinya banyaknya orang yang tidak menyukai kita akan sama banyaknya dengan orang yang pernah kita benci. Karena hal itu biasanya merupakan cermin yang diberi Allah untuk kita jadikan sebagai bahan introspeksi diri. Tapi kitanya sering lupa. 🙂

      Like

  1. Iya mas, enak nih belajar dari orang yang pernah gagal gini mas, saya sendiri pun lebih suka denger cerita orang gagal dari pada cerita orang sukses yang bisa beli apapun gitu mas, rasa-rasanya lebih nyaman hidup kalau bisa menghindar dari kesalahan yang udah orang perbuat dengan tujuan supaya kita juga bisa ngehindarin kesalahannya di masa lampau. Iya nggak sih? Hehehehe

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.