Testimoni Palsu

Testimoni Palsu


Bismillaah…

Saya itu kadang suka memperhatikan, apa iya para bintang iklan di televisi atau radio itu benar-benar memakai (secara intensif) produk-produk yang mereka iklankan ya. Contohnya sabun, apa iya Paramitha Rusadi yang cantik jelita pada masanya itu benar-benar menggunakan sabun mandi batangan bermerk Pr*ti yang harganya murah meriah untuk keperluan mandi sehari-harinya. Atau mungkin untuk produk anti sembelit seperti Veg*ta. Apa iya si bintang iklan harus merasakan sembelit dulu baru disuruh minum produk tersebut biar benar-benar bisa merasakan khasiatnya.

Tapi ah sudahlah… namanya juga iklan, yang terpenting kan pesannya sampai ke khalayak. Toh sebenarnya yang dijual dari sebuah produk itu adalah brand-nya, bukan semata-mata kegunaannya bagus apa tidak. Buktinya, semua orang tahu kalau C*caCol*a itu dari segi manfaat kesehatan nyaris tidak ada bagus-bagusnya. Tapi mengapa produknya masih laris manis di pasaran, dan setiap orang dari semua kalangan sudah pada tahu, kecuali balita.

Penyampaian nilai suatu produk atau value proposition appraisal, khususnya yang menyangkut kepuasan pengguna akan manfaat dari produk tersebut biasa disebut testimoni. Karena sudah menyangkut kepuasan, maka sudah sewajarnya kalau si pengguna merasakannya terlebih dahulu baru berkilah. Tapi dengan semakin brutalnya persaingan bisnis, sepertinya proses normatif tersebut seakan cukup halal untuk boleh dilewati. Ya, kalau memang produknya sendiri sudah umum, seperti layanan booking hotel online, e-commerce, forum, mungkin masih OK. Setidaknya kalau belum pernah menjadi pengguna, cukup dengan melihat berbagai review yang ada sudah cukup. Tapi kalau sudah menyangkut produk yang harus dicoba dulu sebanyak N kali, rasanya kok ya kurang afdhol.

Testimoni Palsu

Dalam dunia per-blog-an misalnya, kita mengenal adanya advertorial, salah satu bentuk periklanan via media tertentu dengan gaya bahasa jurnalistik yang khas dari penulisnya masing-masing. Kalau kita pernah mencoba suatu produk yang akan kita kemas sebagai advertorial, rasanya bakal sip. Ulasannya bisa lebih detail, testimoninya dari hati, dan mungkin tanpa disuruh pun kita dengan sendirinya akan mempromosikan produk tersebut secara sukarela.

Bagaimana kalau belum pernah? Ya itu tadi, semua kembali pada idealisme masing-masing orang. Kalau memang dengan mencari referensi dari review-review yang ada dirasa sudah cukup ya sah-sah saja. Apalagi kalau sudah dikonversi ke dalam bentuk penghargaan yang mempunyai nominal tertentu (baca: duit), ya kenapa kacang? (baca: why not?). Intinya mah, terserah pribadi masing-masing saja.

Kalau saya lebih prefer merasakan produknya terlebih dahulu sebelum ngomong soal testimoni. Minimal sekali lah. Atau minimal pernah merasakan manfaatnya, secara tidak langsung. Misalnya: saya berani ngomong banyak soal Surabaya karena saya memang berasal dari Surabaya. Kalau ada produk yang ada ulasan terkait Surabaya-nya ya saya mungkin tidak ragu-ragu untuk memberikan testimoninya. Toh dalam advertorial kita tidak selalu diwajibkan menyanjung secara berlebihan terhadap suatu produk kan. Bahkan kalau tidak ada aturan mengikat, hyperlink saja sudah cukup representatif.

Soal testimoni ini, saya justru mengalami banyak hal ketika dulu bergabung MLM. Bukan apa-apa, masa mau jualan barang yang bahkan rasanya pun kita sendiri tidak tahu. Kan aneh. Mulai dari kopi ginseng yang “konon” bisa bikin “greng” itu, sampai produk pelembab yang “diklaim” bisa menghaluskan kulit, saya pernah mencobanya semua. Ya lumayan lah, sedikit banyak bisa bercerita kepada calon korban konsumen yang rata-rata memang bisa di-drive dengan modal testimonial.

Ngomong-ngomong, inget testimonial jadi inget Friendster. Hihihi.

51 thoughts on “Testimoni Palsu

  1. nah… saya juga mikir begitu terhadap bintang iklan. kalau dia jadi bintang iklan, harusnya dia pakai itui produk, entah dia beli atau disediain gratis sama produsen. kalau nggak, kan jadinya bohong

    Liked by 2 people

  2. Saya kok yakin bintang iklan itu nggak make produknya ya.
    Contoh lainnya, anaknya Ahmad Dhani, apa iya ada orang kaya dalam kehidupan nyata-nya digambarkan hobby makan mie instant, bahkan menganggap mie instant sbg bagian dari lifestyle.

    Liked by 1 person

  3. Saya juga setuju, Mas, terutama untuk advertorial di blog ini ya. Lebih baik kalo reviewer nya pake juga. Kalo saya pribadi rasanya ogah buat review barang yg enggak kita pake, bakal keliatan boongnya hahaha mungkin karena nulisnya gak jujur dari hati kali ya. Lagi pula kalo kayak gitu dalem hati jadi kayak ada terngiang-ngiang “saya aja gak mau pakenya, trus saya malah ngajak orang buat pake” :mrgreen:

    Liked by 1 person

      1. dulu aku dibawa ke forumnya MLM gitu. apalah namanya. dipaksa-paksa ikut. sampai akhirnya aku nolak, semua orang disana teriak ‘Huuuu’ sambil ngeliatin dengan tatapan nanar ._. aku langsung kabur aja .__________.

        Liked by 1 person

      2. Habis, nggak jelas gimana gitu mas. soalnya iming-imingnya aja bakal dapet duit minimal 100ribu perbulan, eh, tapi disana muka orang-orangnya suram. aku aja nggak dikasih minum, pas aku nanya ‘nggak dikasih minum, mas?’ mereka jawab, ‘wah, kalau itu, beli sendiri mas’

        prospek apaan cobak 😀

        share pengalaman di MLM dong mas :p

        Liked by 1 person

  4. bener kang, ujung-ujungnya (kadang) jadi korban iklan. Kalau cewek-cewek sering banget tergoda sama produk yang bisa mutihin kulit wajah hihi. Setuju bangets, kalau mau jualan mending udah pernah nyoba rasanya gimana pake produk yang kita jual. Soalnya dulu aku pernah jualan baju online kang, pas jualan aku juga iseng nyoba pesen satu. Eh pas nyoba ternyata bahan bajunya beda banget sama yang ada di poto. Kan kuciwa kang, jadinya berenti deh jualan baju online *loh kok malah aku curcol yah* 😀

    Like

  5. Oh iya, kasih testimoni… buat bulbo… terus tengok-tengok siapa yang lihat profil kita buat dijadikan teman baru :haha. So last year :haha :geplaked. Hei, tapi saya juga dulu (sempat jadi) pengguna friendster, meski tidak seberapa lama karena facebook sudah mulai menyusup ke kehidupan kami :hihi.

    Soal produk… saya mungkin agak kolot karena jarang mencoba sesuatu yang baru, melainkan cari-cari brand yang sudah teruji. Bukan teruji oleh banyaknya advertorial, melainkan teruji oleh waktu (baca: merk-merk tua), soalnya menurut saya waktu adalah penguji paling sip kalau soal ketahanan produk di sebuah pasar persaingan sempurna :hihi. Makanya saya tidak pernah coba MLM :haha.

    Liked by 1 person

    1. Wahaha.. so last year..
      Berarti sama kyk saya, lebih percaya pada merk, contohnya sepatu, mau gmn jg tetep ga akan percaya sama yg ga bermerk (kw), bukannya ga menghargai produk lokal, tp soal keawetan beda jauh… jatuh-jatuhnya lebih mahal kl pake yg kw

      Like

  6. ketahuan banget ini termasuk zaman friendster 😀
    dan itu fotonya, foto Baltos ya mas Andik? #gagalfokus

    akupun termasuk yang lebih senang nyoba produknya dulu baru menceritakan dan nawarin produknya.

    Liked by 1 person

  7. Menurut gw sih sah-sah aja kalo bintang iklan gak pake produknya meskipun morally dipertanyakan. Dengan jadi bintang iklan kan orang sudah paham kalo itu bintang dibayar buat beriklan ya mbah, jadi mestinya orang sudah paham kalo apa yang ditampilkan sama si bintang itu sudah pasti bias dan berbayar, tinggal yang lihat aja yang memutuskan mau beli ato nggak. Dan kayaknya sih mereka minimal sekali pasti pake itu produk. Pas pembuatan iklannya lah minimal. Kalo produk laksatif mereka ya palingan bolak balik kebelakang setelah minum itu produknya. Haha.
    Jadi ya karena semua orang sudah tahu mereka dibayar ya bisa aja efektivitasnya berkurang, beda ama blogger yang bikin postingan. Kalo belom pernah pake ya bilang aja belom pernah pake. Ihikkk. Gw sih meskipun dibayar ya tetep jujur bilang belom pernah pake. 😀

    Liked by 2 people

  8. Sistem endorse artis or public figure juga merajalela skrng ya. Si artis tinggal fotoan ama produk yg dikirim ama sipenjual…trus kasih testimoni deh sekata dua kata.

    Hahaa Friendster! Dosa2 kegalauan masa lampau :)))

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.