Cerminan Orangtua [Anak]


Bismillaah…

Seiring termakannya usia, manusia memang mempunyai kecenderungan untuk LUPA. Seperti halnya saya, tidak terasa sudah menginjak kepala tiga, tidak terasa sudah mempunyai anak, tidak terasa banyak rencana yang harus dievaluasi, dan saya pun lupa bahwa saya belum mempunyai catatan apapun terkait kehidupan anak saya. Karena kata seorang teman, sebagai seorang ayah sebaiknya mempunyai catatan-catatan mengenai anak, baik yang terkait dengan tumbuh kembang anak, pendidikan dasar anak, ataupun segala hal yang berhubungan dengan skema tanggung jawab orangtua terhadap anak. Mengapa? Karena catatan-catatan kita tersebut nantinya juga dapat dijadikan sebagai acuan kontrol evaluasi sampai sejauh mana kualitas tanggung jawab yang telah kita berikan kepada anak.

OK lah kalau begitu… tidak ada salahnya untuk memulai sekarang daripada tidak memulainya sama sekali.

Lembaran kosong

Anak adalah lembaran kertas kosong yang siap untuk diisi apa saja sesuai kemauan yang mengasuhnya. Sepertinya sudah pada tahu lah ya kalimat seperti ini. Saya saja yakin kok Anda sudah pada tahu. Masa Anda tidak tahu. Mbok ya tahu. Kebangeten……… saya. :mrgreen:

Maksudnya begini, karena lembarannya kosong berarti memang rentan kena coret. Kalau tidak hati-hati melukisnya dengan seni yang berkualitas, bisa jadi karya yang dihasilkan juga kurang berkualitas. Malah mungkin bisa jadi tidak bernilai apa-apa. Naudzubillaah.

Mudah mencontoh

Uniknya, setiap anak manusia itu bukan seperti robot atau program yang ketika diberikan instruksi akan langsung mengikuti instruksi tersebut, semuanya, kecuali dalam kondisi error. Kita tidak bisa serta merta menyuruh, “Nak, bangun pagi!”, “Nak, ayo belajar!”. Bahkan hanya sekadar, “Nak, sini…” pun bukan hal yang relevan.

Seperti anak saya contohnya, sebut saja A (nyontek dari om Dani 😛 soalnya memang sama-sama berinisial A, mau bagaimana lagi). A ini paling pinter meniru orang lain. Semua aspek, mulai dari cara ngomong, tutur kata, tindak tanduk, hingga gaya dan gesture anggota tubuh pun diikuti. A mempunyai bakat copy-cat kalau istri saya bilang. Atau seperti Kakashi di serial Naruto dengan copy jutsu-nya, itu kalau saya yang bilang.

Kecenderungan ini mulai terlihat ketika A masih berumur sekitar 2 tahunan. Semua gerak gerik teman-temannya diikuti. Kalau temannya banting-banting mainan, langsung diikuti. Ada yang meludah di got, otomatis melakukan hal yang sama. Bahkan naik sepeda bareng-bareng pun tidak pernah mau di depan. Selalu berada di posisi paling belakang. Saya kurang tahu apakah ini kecenderungan negatif, positif, atau biasa saja. Karena sampai sekarang pun saya masih khawatir. Bahkan saya dan istri pernah ngasih tau, “A adalah pemimpin, bukan pengikut, pemimpin itu di depan, bukan di belakang, pemimpin itu tidak mudah mengikuti orang lain”. Berkali-kali, tapi hasilnya hanya sebatas omongan. Dia hafal benar kata-kata itu. Sampai sekarang pun setiap kali ditanya, A sudah sangat lancar mengulangi kalimat tersebut. Tapi gerak geriknya masih belum merefleksikan apa yang dimaksud.

Tapi, ada tetangga yang bilang, kalau kecenderungan semacam itu justru bagus. Artinya anak sedang mencari role model yang pas. Tinggal bagaimana role model tersebut kita sajikan dengan tepat. Soal pertemanan mungkin masih bisa dibatasi. Yang paling tidak mungkin adalah justru interaksi dengan orangtuanya. Jadi role model awal yang paling jelas adalah pengasuhnya, dalam hal ini saya dan istri sebagai orangtua dari A, bukan pembantu, apalagi Anda.

Orangtua sebagai cerminan anak

Jadi, mau tidak mau ya harus memposisikan sebagai orangtua dengan karakter yang bagus dan baik, secara keseluruhan. Kalau ingin anak rajin bangun pagi, ya orangtuanya harus bangun lebih pagi. Kalau ingin anak rajin sholat berjamaah di masjid, ya orangtuanya harus sering-sering mengajaknya ke masjid. Apalagi perihal tutur kata, musti sangat berhati-hati. Salah keceplosan sekali saja, maka otomatis akan tersimpan ke memori si anak dalam jangka waktu yang sangat lama. So, beware of misuh.

Dibentuk dari habits

Mendidik anak sendiri merupakan suatu kebiasaan. Dan kebiasaan itu tidak bisa ditipu. Setiap saat kita berinteraksi dengan anak, dan anggota keluarga lain di rumah. Jadi tidak akan bisa setiap saat kita jaim. Mungkin bisa menjaga beberapa hal yang memang belum boleh diketahui oleh anak. Tapi hampir semua aktivitas kita sudah pasti diketahui oleh orang serumah, termasuk anak. Jadi setiap yang kita contohkan kepada anak sudah pasti merupakan kebiasaan, dan akan menular menjadi kebiasaan sang anak juga. *paragraf ini sepertinya yang paling ribet njelasinnya*

Yang jelas, we are what we repeatedly do. Baik dan buruknya yang kita lakukan sebagai orangtua, 98% akan diserap oleh anak. Oleh sebab itu kebiasaan menjadi hal yang penting. Jangan heran jika ada kasus kenakalan anak usia sekolah karena latar belakang keluarganya yang broken home. Karena kondisi yang seperti itu sangat mungkin berpotensi menjadi pemicunya.

Opposite

FYI, A ini, mempunyai kecenderungan memperlawankan suatu hal yang disampaikan kepadanya. Jadi kalau saya bilang, “Nak, itu sandalnya kebalik”. Pasti langsung bilang, “nggak… nggak kebalik kok”. Trus setelah ngeyel baru deh nyadar kalau memang terbalik. Dan kadang dia sendiri tahu kalau ada sesuatu yang salah tapi tetap memaksakan pernyataan yang berlawanan. Biasanya, saya menggunakan reversal statement. Pernyataan yang memang sudah saya balikkan dari awal. Harapannya agar si A melontarkan tanggapan yang benar. Misal, “itu sandalnya ga kebalik lho”. Tapi rupanya anak sekarang cerdas cerdas euy. Bisa saja ngelesnya. “Lho, itu sandal Ayah yang kebalik (padahal tidak)”. “Eh, ga kebalik kok”, sahut saya. “Kebaliiiikkk!!!!”, sambil teriak marah-marah. Dasar bocah bocah… bapakmu siapa to?? *geleng-geleng*

Itu…

42 thoughts on “Cerminan Orangtua [Anak]

  1. *menyimpan catatan ini untuk masa depan*
    Walaupun belum jadi orangtua, tetapi aku setuju dengan tulisan ini. Diriku yang sekarang sebagian besar dibentuk di rumah. Kalau orangtua mendidik anaknya dengan baik, insya Allah akan menjadi filter yang baik bagi si anak agar tidak terpengaruh hal-hal yang negatif.

    Like

  2. Waaaah, Mbah ngomongin A. Kayaknya kudu maen bareng Mbah anak kita. Kebayang lucunya itu mereka berdua maen bareng.
    Soal meniru, biarin aja Mbah, fasenya memang begitu. Hihihi.
    karena gak mau anak kami jadi pembohong, kami berusaha untuk sama sekali gak bohong juga Mbah. Meskipun sepengen apapun kami untuk A mau ini ato itu kami gak bujuk dengan bohongan, susah sih tapi berasa manfaatnya. Jadi kalo emang janji ya kudu ditepati. Eh dia juga ngikut. Huehehe.,
    Ayuk ah kapan ketemuan yuk 😀

    Like

  3. Duh Mbah… gw serius baca dari atas…. begitu sampai bawah ngakak gw. 😛

    Tapi bener mbah, walau belum nikah dan punya anak, kalau anak itu pinter niru ortu. Masa emas anak, 3 apa 5 tahun pertama ya? lupa. adalah masa penting. Karena di tahun2 itu anak menyerap semua dan akhirnya sebagian besar menentukan seperti apa dianya nanti.

    Like

  4. Tulisannya ngocol banget nih.. hahahha
    “Jadi role model awal yang paling jelas adalah pengasuhnya, dalam hal ini saya dan istri sebagai orangtua dari A, bukan pembantu, apalagi Anda.”

    Tau kok mas, saya bukan siapa-siapa wkwkwkw

    Like

    1. hahaha… santay santay… tidak penting siapa diri kita, yang penting adalah manfaat apa yg bisa kita berikan kepada orang lain… ketika manfaat itu tersampaikan dengan baik, maka kita bisa mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya, karena memang ga dibayar… *kok jadi serius gini sih bro*

      Like

  5. Benar, mas. perlu berhati-hati mendidik anak yah. saya juga pernah prilaku anak merupakan cerminan orang tuanya. hal sepele pun bisa masuk dalam pikirian mereka. copy-cat mungkin reaktif dari sekitar yah, tapi kalau kecenrungan melakukan yang keliru, barangkali perlu diberi pemahaman saja. habis baca tanpa nafas, karena bahasannya serius dan banyak pelajaran yang bisa diserap. terus di akhir bikin ngakak 😀

    Like

    1. Siyap. Jadi emang kudu hati-hati banget kalau sudah hidup bersama anak. Buah kan tak jauh dari pohonnya. Kecuali dijual ke pasar. *malah ngomongin buah*

      Makasih sudah mampir mas 🙂

      Like

  6. Ing ngarsa ojo sontoloyo, saya sering bilang gt ke Suami. Walopun sprtinya idealis, tp mmng bener harus jadi panutan buat bocah ya Mas. Saya masih punya keinginan pas balik kerja nanti gak pake ART, biar bisa mnghandle anak sndiri ky sekarang, tapi..bisa gak ya??
    #galau

    Like

      1. Ooo.. bisa bisa.. insya Allah.. kalau saya dari awal memang sudah memutuskan utk tidak ada ART… bukan apa-apa, biar ada waktu kebersamaan dgn keluarga melalui aktivitas-aktivitas keseharian spt nyuci baju, nyuci piring, ngepel, masak, dkk… rasanya sejuk kalau bs melakukan itu semua pas ada anak-anak dan istri lg ngumpul… 🙂

        Like

  7. Makanya jadi orang tua itu ngga mudah ya, Bang.. Selain harus jadi panutan, harus tetep terlihat sempurna en ngajarin hal yang baik tanpa cacat bin cela di depan anak.. :’

    Like

  8. Anak Andik namanya Andik juga? Andik Jr ya 🙂
    Kebetulan juga saya abis merecord tentang mendidik anak. Tapi dari kaca mata saya (si anak). Dan bener kata kata orang tua pasti melekat ya..

    Berat jadi orang tua ya …

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.