Makan Apa?


Bismillaah…

Sekonyong-konyong jadi teringat ungkapan yang pernah saya baca di buku Eat Right in a Modern Life, “you are what you eat” — apa yang kamu makan menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.

Awalnya memang agak mikir ketika membacanya. Tetapi ketika direnungkan makin jauh rupanya ungkapan itu bukan sekadar kata-kata. Kita adalah apa yang kita makan setiap harinya. Setiap makanan yang masuk melalui mulut akan disaripatikan oleh pencernaan menjadi suatu bentuk energi, yang nantinya akan digunakan oleh tubuh untuk beraktifitas. Tapi tentu tidak semua proses pencernaan berlangsung sempurna.

Siapa yang kita beri makan?

Pertimbangan paling utama adalah, siapa yang kita beri makan. Kebanyakan orang, termasuk saya sendiri, seringkali lupa siapa sesungguhnya yang kita beri makan. Makanan sih masuknya ke tubuh kita. Tapi seringnya yang justru kita beri “sesajen” adalah nafsu, amarah, stres, patah hati, kebosanan, dan sejenisnya. Berapa banyak orang yang tiba-tiba menjadi makhluk buas pemakan segala ketika sedang stres? Berapa banyak orang yang ketagihan mengonsumsi asap rokok dan kopi pahit demi mengusir rasa bosan? Berapa banyak orang yang mati nenggak narkoba hanya karena gengsi pada awalnya?

Apa yang kita makan?

Inti kontrol diri kedua terhadap makanan adalah terletak pada objeknya itu sendiri. Saya yakin sebagian besar orang pasti akan setuju jika gizi yang terkandung dalam makanan seharusnya lebih prioritas daripada rasanya. Tapi kebanyakan ego kita mengatakan hal yang sebaliknya. Itulah mengapa resto junk food laris manis bak kacang goreng. Bahkan melebihi analogi kacang gorengnya sendiri yang kini sepertinya sudah tidak relevan.

Padahal kalau dipikir-pikir, rasa makanan itu mau tidak mau hanyalah sebatas ujung lidah hingga kerongkongan. Selebihnya, we feel nothing. Mau makanan seenak apapun kalau sudah melewati kerongkongan ya sama saja. Seleksi proses pencernaanlah yang menentukannya kemudian.

Mengapa kita makan?

Alasan naluriah kita makan seharusnya adalah karena lapar. Bukan karena 1001 alasan kreatif yang “ada-ada saja”, bukan karena gengsi, bukan karena pas lagi ditraktir, bukan juga karena “ya lagi pengen makan aja”. Sunnahnya, kita ini makan untuk hidup. Bukan hidup untuk makan. Walaupun aspek kekreatifitasan itulah yang justru membuat kita berkembang. Perkembangan yang bisa membedakan kita dengan binatang. Dari zaman cabe masih manis sampai sekarang pun, yang namanya sapi ya makanannya tetap rumput.

Tapi agak serem kalau kekreatifitasan itu sampai mengalahkan akal sehat. Berapa banyak orang yang terus menerus mengunyah makanan tanpa sadar, tanpa berpikir lebih lanjut tentang apa esensi proses makan yang sebenarnya. Lantas, apa bedanya kita dengan (maaf) babi yang terus saja makan. Seperti kisah bapak ibunya Chihiro di film Spirited Away yang dikutuk jadi babi karena serakah tidak mau berhenti makan, tanpa izin lagi.

Padahal jika kita amati, persepsi kebanyakan orang tentang makanan bergizi mungkin hampir sama. Tapi kadar belly wisdom-nya yang bisa sangat beragam. Uniknya, belly wisdom ini tidak bergantung pada jenis strata sosial, tingkat pendidikan, bahkan gender sekalipun. Jadi ingat salah satu scene pada film The Hunger Games: Catching Fire, “People are starving in 12. Here, they’re just throwing it up to stuff more in.“. **malah mbahas film-film**

Jadi, apa menu makanan favorit Anda yang benar-benar cukup “bermakna” hari ini?

“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”[ HR At-Tirmidzi (2380), Ibnu Majah (3349), Ahmad (4/132), dan lain-lain.

7 thoughts on “Makan Apa?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.