Dilema Memfotokopi


Bismillaah…

Di era digital ini, kok rasanya masih ada saja ya urusan-urusan yang mengharuskan persyaratan dalam bentuk hard copy alias fotokopi. Bukan “masih ada” denk, ga berkurang lebih tepatnya. Tengok saja bagaimana ribet kompleksnya berurusan dengan birokrasi surat menyurat di kelurahan atau kecamatan. Semuanya serba kertas. Memang sih, sampai sekarang dunia digital belum sepenuhnya bisa menggantikan berkas-berkas dengan tingkat vulnerability tinggi, seperti: ijazah, akte kelahiran, paspor, dan lain-lain. Karena alasan rentan pemalsuan dan keabsahan masih cukup menjadi isu di negara ini. Belum lagi SDM-nya yang rata-rata masih terlalu dini untuk dikolaborasikan dengan sistem berbasis IT.

Akibatnya, skema paperless office hanya dan masih akan menjadi wacana. Setidaknya dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, menurut perkiraan saya. Tapi mungkin hanya terbatas pada instansi-instansi pemerintah dan turunan-turunannya ya. Soalnya kalau saya amati kantor-kantor swasta atau PMA, sudah jarang yang menggunakan kertas untuk aktivitas proses bisnisnya. Kecuali pabrik kertas (mungkin). 😛

Saya sendiri yang bergerak di bidang software untuk perangkat bergerak, sudah sangat juuuaaarraang menggunakan berkas-berkas kertas. Kerja ya coding, ketak-ketik di IDE seperti Eclipse atau Netbeans, sudah. Laporan cukup via email. Catatan MoM (minute of meeting) juga via email. Rapat langsung pakai Skype. Submit kerjaan langsung unggah ke Dropbox atau push ke Git. Testing tinggal pake hp sama laptop. Satu-satunya kumpulan kertas (ga tebel-tebel amat) yang selalu saya bawa ya cuman sketch book ini. Demi memuaskan hasrat saya lewat coretan-coretan ngawur bin amatiran.

20141215_125746

Kira-kira tiga minggu yang lalu saya sempat merasa “heh?!” karena melihat adik sepupu saya yang sedang membuat CV kerjanya dengan tulisan tangan di atas selembar kertas folio A4. Ya, tulisan tangan menggunakan pulpen. Entah karena memang perusahaannya menyaratkan demikian atau memang sepupu saya ini masih lugu. Sayangnya saya tidak sempat memotretnya. Tapi beneran kok, bukan HOAX. Yaa.. agak merasa aneh saja, masa sudah 2014 begini masih ada yang membuat CV dengan tulis tangan. Saya saja sudah lupa kapan terakhir kali membuat resume menggunakan tulis tangan.

Eh tapi ngomong-ngomong. Sebenarnya yang mau saya bahas itu cuman soal harga fotokopian, kok malah kemana-mana ya. Weleh. Begini, biasanya kan kalau kita memfotokopi, butuhnya kadang hanya 1 atau 2 salinan dalam sekali waktu. Tapi karena harga per lembarnya tidak standar, biasanya saya bilang saja, “10 kali ya Mas”. Alasannya, biar gampang bayarnya. Selain itu, juga untuk stok jika suatu saat nanti dibutuhkan lagi kopian dokumen yang sama. Tapi rata-rata alasan yang kedua ini gagal total. Tak terhitung berapa kali saya memfotokopi KTP. Sekali fotokopi biasanya langsung 5-10 salinan. Tapi setiap kali dibutuhkan tetap saja harus memfotokopi lagi. Karena salinan yang lama sudah tercecer di mana-mana. Ada yang sudah kucel lah, ada yang lupa naruhnya dimana lah, ada juga yang lost is space alias hilang entah di mana rimbanya.

Soal harga, kebetulan saya sering bertanya ke mas mas pegawai fotokopian. Berdasar info yang saya dapat, di Bandung sekarang harganya berkisar antara Rp.125 sampai Rp.500 an. Bergantung lokasi juga. Biasanya kalau deket-deket kampus semakin murah karena ada faktor volume yang berperan. Tapi semahal-mahalnya tarif fotokopian tetaplah tidak mahal. Kalaupun ada yang mahal itu mobil namanya.

Nah, besaran harga segitu nanggung kan. Ya masa mau fotokopi 1 lembar doank. Bayar 125 perak itu gimana caranya. Ujung-ujungnya ada pembulatan ke atas biasanya. Jadi paling murah kita otomatis terkena Rp.500. Inipun masih terbilang susah, karena uang receh pecahan Rp.500 itu ibarat jodoh, dicari-cari tidak ketemu, tapi begitu menyepelekan malah ada. Oleh karena itulah saya mematok 10 kali kopian itu adalah kisaran yang paling pas. Setidaknya mendekati pecahan uang yang paling banyak tersedia di kantong orang, Rp.2000. Tapi ya itu tadi, harus siap-siap menyediakan tempat penyimpanan berkas fotokopian yang cukup representatif.

Oh ya, dulu saya pernah mengalami harga fotokopian sebesar Rp.16 per lembarnya. Sudah lupa tahun berapa. Yang jelas waktu itu pecahan uang receh terkecil adalah Rp.25. Yaa… sebenarnya masih proporsional sih dibandingkan kondisi sekarang.

14 thoughts on “Dilema Memfotokopi

  1. [beno dianggep OOT]… dalam psikologi.. tulisan itu menggambarkan kepribadian orangnya… maka kadang memang perlu tahu tulisan tangan orang lain :p…. sing sabar yo dadi wong mas e… yo piye carane mengedukasi masyarakat…ben iso do maju… alon alon.. sing sabar hehe :D…ndungo sing akeh (lha kok malah adoh melencenge :p)

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.