Halal di Negeri Sendiri


Bismillaah…

Mendapati link dari teman tentang acara halal expo di Jepang: Menghadiri Japan Halal Expo 2014 di Makuhari Messe, Chiba. Secara umum, ulasannya menarik, benar-benar menggambarkan sikon yang semakin membaik, khususnya bagi warga muslim yang tinggal di Jepang. Mengingat begitu sulitnya mendapatkan makanan yang bersertifikat halal di negeri orang yang notabene bukan negara islam atau berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia. Saya sendiri pernah mengalaminya waktu masih seru-serunya acara backpacking dulu. Jangankan menemukan label halal, menemukan mushola di kawasan umum saja sangat-sangat jarang. Namun karena urusan perut yang tidak bisa ditunda, akhirnya lagi-lagi kembali pada selera nusantara, alias indom*e. Mau bagaimana lagi.

Tapi di artikel itu disebutkan bahwa sekarang di Jepang sudah mulai banyak yang aware dengan konsep kehalalan ini. Selain mengakomodir warga muslim yang tinggal, ternyata juga ada aspek peluang bisnisnya. Alhamdulillaah. Promosinya pun dikabarkan gencar. Bahkan MUI dan LPPOM dari Indonesia pun juga sudah urun rembug soal bagaimana mengenalkan konsep kehalalan makanan di Jepang. Luar biasa. Untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di link yang saya tulis di atas.

Nah, kalau di Jepang saja sudah demikian positif sikonnya, bagaimana dengan di negeri kita tercinta Indonesia ini. Seharusnya lebih hebat dari itu. Apa benar? Kok rasanya saya masih agak was-was ya. Pasalnya begini, untuk restoran atau kafe kelas menengah ke atas memang sudah banyak label halalnya. Terlepas dari apakah label halal itu beneran apa tidak cara memperolehnya. Yang jelas gambar-gambar seperti ini sudah banyak menjadi template, baik di kemasan produknya, atau terpampang nyata di banner-banner-nya.

lembaga-sertifikasi-halal

Yang menjadi aspek kekhawatiran terbesar saya bukan di restoran atau kafe kelas menengah ke atas dengan kasus yang “konon katanya” ada isu permainan di balik pengesahan label halal oleh MUI. Ah.. sudahlah, saya kurang kompeten berurusan dengan polemik tingkat dewa seperti itu. Tapi rasa was-was saya justru melekat di warung-warung kaki lima. Tempat-tempat jajanan kelas menengah ke bawah dengan harga yang relatif murah meriah. Terjangkau semua kalangan, terutama kalangan ekonomi lemah. Tau dari mana kalau makanan yang disajikan di warung kaki lima sudah pasti halal? Kalau ada labelnya sih masih bisa dituntut tanggungjawabnya, lha kalau tidak ada. Yaa salahnya yang beli kenapa tidak tanya. Palingan begitu kondisinya.

Kriteria Umum

Sebenarnya mengapa sih kok saya sebagai seorang muslim yang ilmunya hanya so so saja, benar-benar merasa perlu memperhatikan hal yang terlihat remeh seperti bab kehalalan ini? Alasannya simpel, karena urusan halal haram itu sangat menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita. Barokah atau tidaknya rizki kita. Sebagaimana persoalan najis yang benar-benar jadi syarat utama sah atau tidaknya sholat. Padahal, kriteria halal itu kompleks. Mulai dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari bagaimana cara mengolah bahannya, hingga penyajian terakhir. Mulai omzetnya yang punya usaha sampai ke rizkinya tukang parkir. Jadi mau ga mau ya musti sedikit mikir.

Berdasarkan pemahaman saya yang secethek lutut orang dewasa pas lagi tiarap ini, setiap kali hendak makan di warung kaki lima pinggir jalan, “menurut saya” sebaiknya:

1. Tanyakan dulu apakah menggunakan angciu atau tidak. Apa itu angciu? Sejenis arak yang biasanya digunakan sebagai salah satu bahan penyedap makanan. Yang paling kelihatan dari angciu ini adalah ketika digunakan memasak, biasanya api dari kompor turut menyambar wajan atau kuali. Pertanda ada kandungan alkohol di dalamnya. Angciu ini buanyaak lho dipakai di warung-warung kaki lima. Mungkin karena banyak yang menganggap angciu ini bagian dari bumbu masakan yang sudah umum. Seperti halnya kecap dan saus sambal. Referensi mengenai angicu ini juga banyak kok. Monggo ditanya ke mbah google. Soal halal atau haramnya, kalau saya mending berhati-hati, dengan tetap mengatakan tidak pada korupsi, eh… angciu. Karena ada juga pendapat yang memperbolehkan, dengan alasan kadarnya yang tidak memabukkan. CMIIW..

2. Kalau sempat, sekali-kali bertanyalah soal stok bahan mentahnya didapat dari mana. Apakah supplier-nya sudah menerapkan syariat penyembelihan hewan dengan benar ataukah belum. Sebaiknya hati-hati. Soalnya saya sendiri pernah mendengar dari seorang teman yang pernah menyaksikan secara langsung proses pembunuhan ayam potong di salah satu pasar tradisional di Bandung yang tidak syar’i. Lehernya ditusuk lalu langsung dimasukkan ke dalam air panas biar bisa langsung mbrodol bulu-bulunya. Kurang bukti lagi? Saya dulu pernah bertetanggaan dengan supplier burung dara untuk beberapa resto di Bali dan Surabaya. Kebetulan, saya disuruh membantu eksekusi mati ratusan burung dara muda yang hendak dikirim. Kalau eksekusinya menggunakan cara disembelih dengan bismillah, saya mungkin tidak keberatan. Tapi caranya ini benar-benar sadis. Setiap ekor burung dara dipasangi simpul pada lehernya dengan tali panjang yang sudah dipancang sebelumnya. Lalu kemudian ditarik masing-masing ujungnya. Sampai bunyi “krek”. Sekali tarik 20an ekor burung dara mati mengenaskan. Sekali lagi, sebaiknya jangan malu bertanya. Sekalian ngobrol-ngobrol lah dengan yang punya warung. Siapa tau ada peluang bisnis yang terbuka.

3. Yang ketiga yaa rasakan saja. Kira-kira masih segar atau tidak makanannya. Jangan-jangan ayam tiren (mati kemaren). Sebab, selain halal juga ada pasangannya, thayyiban. Artinya, zatnya sendiri dalam kondisi baik, tidak busuk, tidak mengandung najis, atau bekas hewan yang berpenyakit.

Tapi barangkali beda orang beda pengalaman kali ya. Bukan bermaksud menggeneralisir juga. Hanya faktor kehati-hatian yang mau saya sampaikan. Akan senang hati jika ada yang mau berbagi pengalaman yang mungkin berbeda terkait kehalalan makanan di berbagai tempat penjaja kuliner di mana pun lokasinya.

——————————
Referensi:
http://m.kompasiana.com/post/read/693899/2/menghadiri-japan-halal-expo-2014-di-makuhari-messe-chiba.html

8 thoughts on “Halal di Negeri Sendiri

  1. di kampus sih dah ada korner halal nya .. bagus nya kantin kampus itu dikelola sama koperasi nasional .. jadinya kayaknya lingkungan kampus bisa dibilang ada menu halal nya …

    oh dan pastinya bukan hanya halal ato ndak sih .. menu vegetarian juga pasti ada…. menu vegetarian dah pasti halal ya .. eh ntah deh kalo ada alkohol nya …

    kalo ke Jepang gampang sih .. tinggal makan onigiri 😀 .. isinya cuman nasi .. jadi nya pasti halal 😀 (makanan saya tiap siang :D)

    Like

    1. Wah.. dpt komen dr yg udah lama tinggal di Jepang.. jd minder 😀
      Yaa ikan ikanan jg aman halal sih kl masaknya bener dan cara mendapatkannya jg bener.. apalagi kyk sushi gt yg fresh dr laut.. manyus.. tp yg ga dicampur sake.. 😀

      Like

      1. Kalo di sini yg kutau sih tipikal kyk capcay, nasgor, fuyunghai, mie tektek, seafood cah kangkung dkk… tp yg paling keliatan kl pas masak ada apinya yg ikut menyambar masakannya… kyk yg di tipi-tipi itu lho.. itu sudah jelas, pasti ada alkohol yg terlibat

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.