Memelihara Katak


Bismillaah…

DSC_8256-1

Bukan… bukan… Saya bukan hendak memberitakan bahwa saya sedang menggeluti bisnis budidaya katak. Kebayang pasarnya pun tidak. Hanya saja, katak yang berada di taman depan rumah saya ini kok semakin lama saya amati semakin tumbuh besar. Bahkan sekarang muncul beberapa katak kecil di sekitar area habitatnya, yang saya duga itu adalah anak-anaknya.

Taman depan teras rumah saya bukanlah taman yang berukuran luas seluas taman Ganesha (lebay). Taman saya ini cukup mini padahal. Hanya berukuran 1 meter x 5 meter melebar sepanjang ujung pagar sebelah kanan hingga garasi. Tapi memang kondisinya cukup rimbun rungsep dan ruwet tak terawat sehingga sampai ada katak dan keluarganya yang turut menginap di situ.

Yaa… saya sih sebenarnya tidak begitu bermasalah dengan hadirnya binatang amfibi ini. Hanya saja bisa jadi lain soal jika sampai kontak dengan anak saya yang masih berusia 2,5 tahun. Terlebih saya belum tahu itu katak jenis apa. Apakah beracun atau tidak. Atau apakah justru malah menghadirkan pemangsa alaminya, ular. Jangan sampai. Karena ular sudah pasti lebih berbahaya daripada katak. Semoga tidak.

Kalau saya pikir-pikir, mungkin ada dua penyebab datangnya keluarga katak ini. Yang pertama lokasi yang cenderung lembab setiap saat. FYI, taman mini saya ditumbuhi pohon sirih yang tingginya menjalar hingga 2,5 meter ke atas. Kita tahu bahwa pohon sirih mempunyai karakteristik merambat kemana-mana. Pernah dulu saya tinggal selama 3 minggu, seluruh pelataran rumah dan taman penuh ditumbuhi juluran-julurannya, yang mana jelas hal ini membuat tanah di sekitarnya menjadi lembab. Apalagi didukung kondisi kota Bandung dengan curah hujan yang cukup tinggi per tahunnya. Yang kedua, saya baru ingat bahwa saya mempunyai kebiasaan membuang sisa-sisa makanan organik, kulit buah, bekas irisan sayur, sisa nasi basi, dkk ke tanah di bagian pojok depan rumah, yang juga masih merupakan bagian dari taman. Niatnya, saya memang tidak ingin menambah beban bapak tukang pembersih sampah dengan bau-bau busuk yang ditimbulkan dari sisa makanan organik. Jadi biarlah alam yang menyelesaikan tugasnya untuk melakukan proses pembusukan. Sementara bapak tukang pembersih sampah cukup mengangkut sampah-sampah berbahan non-organik saja. Tapi, ternyata metode saya masih salah. Seharusnya ditimbun ke dalam tanah, bukannya dibiarkan dibuang di atas permukaan. Alhasil, banyak lalat buah berdatangan di sekitar tumpukan sampah organik tersebut. Lokasi ini jugalah yang menjadi tempat favorit si katak. Bukan lembabnya, tapi lalatnya. Katak kan pemakan serangga. Saya juga baru ngeh setelah beberapa kali pengamatan. Mungkin itu sebabnya mengapa katak-katak ini dapat berkembang biak, lha wong makanannya melimpah.

Moral ceritanya, rajin-rajinlah bebersih taman jika tidak ingin kedatangan banyak hewan yang tidak diinginkan. Tapi sebenarnya ada masalah lagi, jika tanahnya saya gali dan sisa-sisa makanan organik saya timbun di dalamnya, maka tanah menjadi terlampau gembur. Jika sudah begini, dapat dipastikan akan ada kucing yang ikut membuang hajat di lokasi tanah yang gembur tersebut. Ada yang punya solusi?

5 thoughts on “Memelihara Katak

  1. Kok aku malah jadi penasaran dengan jumlah kucing yang ada mas, masak iya sih sampai mengganggu ketika membuang hajat di tanah yang disiapkan tersebut, banyak banget ta kucing di situ 🙂

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.