Diskriminasi Buleisme


Bismillaah…

20140423_092703_buronan-fbi_kasus-pedofilia

Agak gatel juga berkomentar tentang kejadian yang memilukan sekaligus memalukan, yang sedikit banyak telah membuat miris dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini, yaitu soal kasus pelecehan seksual terhadap anak di JIS (Jakarta International School). Tapi seperti biasa, saya tidak akan membahas detail kasusnya, atau ikut-ikutan mengomentari cacian orang-orang terhadap pelaku kriminal yang dikatakan pedofil karena telah merenggut masa depan beberapa anak di bawah umur. Saya juga tidak hendak langsung sepakat menyalahkan pihak JIS ataupun pihak Departemen Pendidikan kita karena mencuatnya kasus ini. Soal pidana sudah biarlah proses hukum yang menyelesaikannya sesuai koridor. Soal sistem pendidikan biarlah yang lebih kompeten dan telah terjun langsung di bidangnya yang boleh mengomentari. Di sini saya hanya akan menarik satu bagian kecil dari kasus tersebut, yaitu terkait Buleisme.

Menurut saya, tidak masalah jikalau sekarang sudah banyak orangtua yang menginginkan anaknya go international. Pun juga tidak masalah jika sekarang banyak orang yang sudah mulai pede cas cis cus berbahasa inggris di manapun lokasinya. Di sekolah, di tempat makan, ketika menelepon, ataupun hanya sekadar berbalas komentar di media sosial. Ini berarti kesadaran masyarakat kita akan upaya turut “bermain” di kancah global sudah bagus. Hanya saja, terkadang pola pikir kita ini terlalu berlebihan ketika disuruh memandang hal-hal lain yang berhubungan dengannya, salah satunya adalah terhadap orangnya, orang bule1.

Entah mengapa, stigma umum yang ada di masyarakat Indonesia ketika memandang bule kebanyakan tidak lepas dari pernyataan-pernyataan dogmatis bahwa bule itu orang pinter, bule itu pasti kaya, bule itu adalah bos, dst. Seolah-olah bule menempati kasta tertinggi di negara ini. Seakan-akan bule itu adalah utusan dunia internasional yang wajib kita segani. Dan kita pribumi hanyalah sekumpulan kaum proletar yang derajatnya jauh lebih rendah daripada mereka, para bule. Padahal kan seharusnya tidak demikian. Kalau mau dibalik, justru merekalah yang sedang “bertamu” di sini. Seharusnya kita menghormati mereka sebatas penghormatan kepada tamu, bukan sebagai jongos pelayan mereka di negeri kita sendiri.

Dari sini saja saya belum yakin kalau bangsa ini sudah benar-benar merdeka. Pasalnya, sisa-sisa mindset korban kolonialisme seperti yang saya gambarkan di atas masih tertanam teramat dalam di benak masyarakat kita. Tidak usah jauh-jauh lah memikirkan bagaimana membuat kebijakan yang “menguntungkan” terkait korporat-korporat asing di bidang energi dan mineral yang sudah meraup habis sumber daya alam kita, seperti: Freeport, Exxon, dkk. Memikirkan diri sendiri untuk tidak konsumtif saja sulitnya setengah mati. Apalagi berpikir tentang kualitas pendidikan yang bagus, yang seharusnya dapat mengubah pola pikir kita untuk tidak menjadi jongos pelayan di negeri sendiri.

Saya sendiri pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan terkait buleisme ini. Waktu itu saya hendak masuk ke salah satu gedung perkantoran di Jakarta, sebut saja Wisma Mul*a. Seperti biasa, ada prosedur keamanan yang diterapkan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Standar lah, cek tas, menukar kartu identitas (KTP, SIM, dan sejenisnya) dengan nametag tanda pengenal, buka laptop untuk dicatat nomor serinya, tandatangan, ditanya macam-macam soal keperluan, bertemu dengan siapa, dan seterusnya. Sampai sini saya tidak masalah. Namun, agak sedikit gerah ketika tiba-tiba ada beberapa orang bule yang langsung nyelonong tanpa melalui pemeriksaan. Padahal mereka juga sedang tidak mengenakan nametag tanda pengenal yang berlaku di gedung ini. Iseng-iseng saya langsung bertanya kepada salah satu satpam yang sedang bertugas.

A –> Saya
B –> Pak satpam

A: Pak, kenapa musti ada pemeriksaan kayak gini sih?
B: Yaa biasa Mas, prosedur standar, kerjaan saya ya musti ngikutin ini
A: Memang pernah ada kasus ya Pak?
B: Cukup sering Mas, banyak yang kehilangan laptop, hape, makanya ada aturan seperti ini, kalau tidak saya yang kena..
A: Hmm… tapi kenapa bule-bule itu ga dicek, Pak?
B: Mereka kan bule, Mas..
A: ….(dhoenk??)

Apa bedanya? Memangnya orang-orang kita ini selalu jadi orang rendahan, tidak beradab, yang sudah dari sononya memang pantas melakukan tindakan kriminal? Memangnya semua orang bule itu selalu baik, kalangan terhormat yang pantang berbuat jahat? Sedihnya lagi, penciptaan stereotip itu justru muncul dari kalangan kita sendiri, orang pribumi, yang sudah kadung kelewat bangga dalam menyanjung bule dan kehidupannya.

Kawan… Tidak semua yang kita kiblatkan dari orang-orang bule itu baik. Pun juga tidak semua karakteristik orang-orang kita itu selalu buruk. Begitu pula sebaliknya. Proporsional saja dalam memandangnya. Banggalah menjadi bangsa kita sendiri, bangsa yang besar, menjunjung tinggi adat ketimuran yang substansinya sudah baik. Kasus JIS sedikit banyak semoga dapat membuka cakrawala kita, bahwa kita sekarang sedang mengalami krisis identitas, inferior, tidak pede, dan dijajah.

Wallahualam. CMIIW. Semoga bermanfaat…

———————————–
1) Bule: orang asing, berkulit putih, berasal dari ras kaukasoid, yang tinggal di Indonesia, baik sebagai turis, expat, atau sudah mempunyai kewarganegaraan Indonesia (WNI)

10 thoughts on “Diskriminasi Buleisme

  1. saya bule Jawa ndik 😀

    Wah mirip seperti di sini. Tapi di sini lebih luas. Orang pribumi vs orang asing.
    Orang asing cenderung tidak memahami adat dan budaya pribumi yang ketat. Dan perlakuannya jadi beda.

    Kalau situasi nya mirip cerita kamu, satpam nya akan berkata dan bersikap lain. Orang asing akan sering “dimaafkan” kalau asal nyelonong karena ya orang asing tidak begitu paham adat lokal atau pak satpam nya malas berurusan sama orang asing.

    A: Hmm… tapi kenapa bule-bule itu ga dicek, Pak?
    B: Ya namanya bule, biarin lah..
    A: Iya ya Pak, daripada repot.
    A & B : Ha ha ha .. (berjabat tangan & berpelukaaaan ..)

    Like

    1. hahaha… sudut pandang yang cukup menarik… bisa bisa… memang tidak semuanya seperti yang saya ceritakan, atau tidak semuanya persis seperti sudut pandang saya… semoga tidak menggeneralisir…

      Like

      1. Jangan-jangan memang satpam nya ndak bisa English, jadi enggan ngecek 😀

        Tapi memang harus nya para satpam itu mirip petugas2 imigrasi di airport2 gitu .. tak peduli bule siapa saja, tetep pasang muka bengis 😀

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.