Segmentasi Audience


Bismillaah…

————————

A: Kerja di bidang apa Mas?

B: Security… Mbak

A: Ooo… Satpam ya

B: Bukan, maksudnya security bidang IT

A: IT itu urusannya komputer-komputer gitu ya Mas?

B: Iya, betul sekali, saya membuat program untuk keamanan jaringan komputer

A: Owalaah… jadi Mas ini bisa servis komputer to…

B: Bukan… Mbak… saya ini programmer, saya dulu kuliah Sistem Informasi

A: Wah, hebat ya si Mas…. bisa tau segala informasi di seluruh dunia dong ya

…dst

————————

Btw, saya kok sering ya, menemui tipikal kejadian seperti di atas. Atau mungkin hanya perasaan saya saja. Atau bahkan saya sendiri mungkinĀ pernah sering mengalaminya, tapi tidak nyadar. Pihak yang satu menjelaskan dengan antusias mengenai suatu hal yang dianggapnya cukup mafhum, sementara lawan bicaranya tidak nyambung alias ga level. Jika diteruskan, akan semakin terlihat bahwa yang menjelaskan akan berusaha menunjukkan tingkat arogansi pengetahuan dan stratanya, sementara si pendengar akan berusaha mati-matian biar kelihatan “nyambung”, demi gengsi. Yaa… mungkin masnya lagi kepincut sama mbaknya yang kebetulan “nampak” cantik mirip Raisa, atau mungkin juga si mbaknya yang kadung terpesona, karena si mas “terlihat” sukses dan perlente. Itu lain soal, hehe.

Tapi, namanya komunikasi itu kan sebenarnya satu hal yang tidak bisa dipaksakan. Semakin dipaksakan, semakin ga enak. Seperti memaksakan jalan kaki dengan memakai sandal jepit yang terbalik kanan kirinya. Ga enak kan. Lebih ga enak lagi kalau sandalnya beda warna. Beda ukuran lagi. Bekas orang. Ga ada pilihan lain, karena itu adalah sandal terakhir yang tersisa di masjid. Setelah sandal kesayangan diembat maling sehabis jumatan. Eh, rumah jauh pula. Asli, benar-benar tidak enak.

Saking tidak enaknya, ketika sadar sudah berjalan terlalu jauh, kadang kita tidak tahu musti marah ke siapa. Ke sandal? (lha kok malah ngomongin masalah sandal). Mau menyudahi obrolan tapi situasi tidak memungkinkan. Mungkin karena kita dan lawan bicara sedang duduk bersebelahan di sebuah bus antarpulau yang menempuh perjalanan panjang. Atau mungkin sedang dalam kondisi imajinatif terperangkap berdua di dalam kotak misterius, seperti kondisi yang digambarkan di sini dan di sini.

Communications not only need good skill, it also needs good will – Santi Djiwandono

Karena tidak bisa dipaksakan, yaa sebaiknya jangan dipaksakan. Bagi yang sedang “merasa” di atas angin, turunkanlah sedikit ego walaupun sejengkal. Semakin tinggi ego, semakin jumawa lah yang terlihat dari diri kita. Sedangkan bagi yang kebetulan merasa ga connect, jujur saja lah, tidak perlu minder atau gengsi. Semakin gengsi akan semakin terlihatlah kebodohan kita. Justru awal komunikasi yang sukses seringnya ditimbulkan melalui itikad baik. Nah, untuk setinggi atau sejujur apa, itu adalah masalah pintar-pintarnya kita dalam membaca segmentasi lawan bicara.

Kasus yang paling sering saya jumpai terkait segmentasi dalam komunikasi ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan teman-teman dari ITB. Nampaknya muncul stereotip bahwa orang-orang alumni cap gajah terkenal sombong dan arogan kalau ngobrol, khususnya ketika ngobrol dengan orang non-cap-gajah. Meskipun sedang menunduk, tapi entah bagaimana susunan kalimatnya hingga hampir selalu terkesan “mendongak” ketika berbicara. Bahkan ada rumor, bahwa Chef Juna yang terkenal memerankan karakter songong di acara Master Chef Indonesia pun dulu pernah kuliah di ITB šŸ˜€ . Akibatnya tentu saja substansi yang diucapkan sering ga nyampe karena gapĀ komunikasi yang terlalu tinggi dari beraneka kesalahpahaman mindset lulusan yang digadang-gadang sebagai institut terbaik bangsa, yang seolah-olah menempatkan diri sebagai golongan kahyangan, sementara yang lain hanya proletar. Apakah memang demikian adanya? Semoga tidak. Semoga juga tidak menggeneralisir keadaan. Walaupun saya sendiri sih masih yakin, bahwa rata-rata alumni ITB akan lebih mudah berbincang-bincang dengan presiden atau orang asing, daripada ngobrol ngalor ngidul dengan tukang becak yang sedang nongkrong di pinggir jalan.

Analogi yang sama mungkin dapat diterapkan juga dalam pembuatan produk digital yang menyasar pengguna dalam jumlah masif. Ambil contoh yang sangat mainstream Facebook dan Twitter yang sudah terbukti piawai dalam menarget penggunanya hingga siapapun pasti mengenal dua ikon aplikasi tersebut. Atau Whatsapp yang begitu jeli melihat sisi kebutuhan orang akan aplikasiĀ chat yang sangat simpel namun ternyata menjadi populer dengan sekian ratus juta penggunanya. Pertimbangannya bisa macam-macam, bahkan jenis perangkat pun bisa jadi isu tersendiri terkait segmentasi. Misalnya, bagaimanapun juga tidaklah sama pengguna jenis feature phoneĀ dengan smartphone. Dari behaviour, tingkat pendidikan formal, hingga cara berpikirnya pun beda. Saya bilang seperti ini bukan berarti saya sudah paham betul dengan hal ini ya. Bahkan saya sendiri pun masih meraba-raba, bagaimana sih menyajikan user interface yang sangat-sangat sederhana untuk pengguna feature phone, namun tanpa menghilangkan sisi user experience-nya. Pernah saya membuat UI yang interaktif, slide kanan-kiri, bisa autowalktrough, animated, dan fiturnya pun komplit. Namun, setelah saya survey, hampir semua orang mengatakan tidak mengerti bagaimana menggunakan aplikasi yang saya buat. Sedih. Dan memang terbukti perkembangan jumlah penggunanya hanya berjalan sampai 3 bulan pertama. Setelah itu… berhenti alias tidak ada yang men-download-nya lagi. Artinya apa? Saya gagal memahami segmentasi pengguna yang saya target.

Begitu lebih kurangnya, semoga bermanfaat. CMIIW…

5 thoughts on “Segmentasi Audience

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.